Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung.

Perempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto.

Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri Nyi Raden Siti Djariah membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken.

Sedari remaja Emma sudah aktif beroganisasi. 1918, selepas HIS (Hollandsche Inlandsche School) Tasikmalaya dan duduk di kelas satu MULO Batavia (pindah dari Salemba) ia sudah menjadi anggota Bond Inlandsche Studeerenden dan Jong Java. Pada masa pergerakan ia bergabung dengan Kongres Pemuda Indonesia I dan organisasi Jong Islamieten Bond sebagai Ketua Cabang Bandung, 1925.

Di Bandung pada 1927, bersama kolega ia membentuk Dameskring, sebuah unit kolektif mandiri dalam memberdayakan kaum perempuan dengan komposisi para pelajar ragam latar etnisitas. Setahun kemudian, di 1928, Emma aktif dalam Kongres Pemuda Indonesia II. 30 April 1930 berdiri Pasundan Istri (PASI) untuk menampung aspirasi kaum perempuan, ia menjadi ketua dan penasihat selama 40 tahun.

Emma juga turut memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama dalam bidang pendidikan dan pernikahan pada Kongres Perempuan II (1935), III (1938), dan IV (1941) dan setelahnya bersama perwakilan dari puluhan organisasi perempuan dan belasan kota di Indonesia. Melalui Dekrit Presien RI No. 316 Tahun 1953, pada 22 Desember 1953 di acara peringatan ke-25 Kongres Perempuan Indonesia, akhirnya Sukarno menetapkan momentum tersebut sebagai Hari Ibu Nasional.

Pada momen Kongres Pemuda I (30 April - 2 Mei 1926) dan II (27-28 Oktober 1928) yang menjadi tongak sejarah pergerakan menuju cita-cita kemerdekaan Emma turut hadir sebagai salah satu di antara dua orang perempuan. Kepada LKBN Antara (26/10/2017), Kepala Museum Sumpah Pemuda, Uryati di Jakarta, mengatakan, "Anggota Kongres Pemuda banyak, tetapi sangat sulit mencari informasi dan keluarga para anggota. Namun, kami terus berupaya agar dapat melengkapi profil semua anggota."

Pada kongres pertama ia menyatakan bahwa perempuan perlu ikut berjuang. Dari kongres ini rumusan Sumpah Pemuda lahir dan untuk kesempatan pertama birama Indonesia Raya menggema diiringi gesekan biola Wage Rudolf Supratman sendiri.

Pada rezim kolonial antara 1938-1942, Emma tercatat dua kali menjadi anggota dewan (Gemeenteraad) perempuan pertama di Hindia Belanda. Pada rezim Sukarno, Emma aktif sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (1959-1965). Pada rezim Suharto ia pun tercatat sebagai anggota MPRS sampai dengan 20 Maret 1968 dan anggota DPR/MPR berdasar pemilu 1971.


Memperingati Sumpah Pemuda ke – 89 Museum Sumpah Pemuda mengadakan kilas balik perjalanan Emma di jalan Kramat Raya No.106, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, dalam sebuah eksebisi "Emma Poeradiredja Tokoh Pejuang Wanita Tiga Zaman" pada 26 Oktober hingga 26 November. Pembukaan sudah dibuka oleh Kepala Subdirektorat Geografi Sejarah, Dr. Agus Widiatmoko 26 Oktober 2017 lalu dan terbuka untuk publik. Menurut Uryati, “Selama ini kami selalu menampilkan tokoh laki-laki, padahal pada kongres tersebut juga ada perempuan. Karena itu, kami tertarik menampilkan tokoh Emma.”


Eksebisi "Emma Poeradiredja Tokoh Pejuang Wanita Tiga Zaman.

Pada sebuah pertemuan dengan seorang kerabat Emma, Amarawati Poeradiredja mengatakan jika sosok Emma di lingkungan dan keluarga dikenang sebagai sosok bersahaja, "Orangnya tidak mau merepotkan, tidak mau berhutang budi."

Sepak terjang Emma sebagai perempuan mematahkan paradigma konservatif dan domestikasi yang masih menggejala, bahkan di abad informasi. Konstruksi gender dan kodrati dua hal yang berbeda dengan pilihan-pilihan yang mempunyai konsekuensi masing-masing. Perempuan masa kini dapat hadir dan berdaya dalam segala lini, termasuk menjadi Ibu penuh waktu.

_______

 Foto: MTVN/Haifa Salsabila. Infografis oleh Tandaseru.id

Komentar

  1. Menus and women: mens titanium wedding bands, accessories
    Menus titanium mens rings and women: mens titanium steel titanium wedding bands, titanium exhaust wrap accessories, columbia titanium boots accessories, wedding night, wedding night, mens titanium sunglasses titanium wedding night, mens titanium wedding

    BalasHapus

Posting Komentar