Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

SID: Bukan Kita Yang Dimanfaatkan


Setelah Gor keramat Saparua reda diteror oleh aksi para scenester musik bawah tanah, kini giliran Buqiet Cafe yang terletak di Geger Kalong Hilir untuk meneruskan tahta sebagai saksi  episentrum pergerakan skena musik bawahtanah lokal, khususnya bagi Bandung sendiri. Berbagai event musik cadas kerap kali telah dilangsungkan di tempat ini.

Buktinya, Core Live sebagai pelaksana acara bertajuk Free At Last dengan dukungan 24 sponsor, termasuk didalamnya outlet distribusi, perusahaan pakaian, label rekaman indie, majalah, dan sebuah stasiun radio ini kembali mengetarkan gendang telinga para maniak cadas.

Band pembuka adalah Nudist Island, acara yang berlangsung Minggu 4 Mei silam itu pun didukung oleh band yang terdiri dari berbagai aliran dan komunitas. Turut menari pogo diantaranya, Authority, Sendal Jepit, The Bahamas, Savor Of Filth, Boys Are Toys, Alone At Last, Real Enemy, Killed By Butterfly, Restrain, dan klimaksnya ditutup dengan penampilan memukau  band asal Bali, sang trio Superman Is Dead.

Orang super telah mati

Berdiri tahun 1995, aksi panggung dari band yang dikomandoi Bobby Cool (vokal, gitar), Eka (bass, vokal latar), dan sang penabuh Jerinx memang telah ditunggu kedatangannya jauh-jauh hari. Alhasil, membludaklah penonton, begitu juga yang terjadi sebelumnya dalam satu acara di Universitas Parahyangan (3/05/03) yang juga menampilkan band yang memulai gigsnya sebagai band cover version sekaligus influence-nya, NOFX dan Green Day.

 Luapan emosi mulai dari pogo, diving, slamming, sampai head banging mewarnai mini bar Buqiet Cafe minggu tersebut, bahkan stage act-nya pun bablas terjejali grounders dan fans yang histeris, sehingga tak heran atmosfer ruangan kemudian berubah seperti layaknya sauna.

Dari kelompok dengan karakter punk dan sentuhan glam-rock-and-roll ini, lahirlah tiga album indie sebagai wujud kreatifitas pendewasaan bermusik mereka, yakni Case 15 tahun 1997, Superman Is Dead tahun 1999, dan Bad, Bad, Bad di penghujung 2001. Hingga kemudian di tahun 2002 Spills Records, salah satu perusahaan rekaman indie Bandung, merilis ulang beberapa lagu dari album sebelumnya. “Hippie, 2002, yaitu mini album isi enam lagu, yang sekarang di rilis sama Spills Records empat lagu, aslinya kan enam lagu, Spills Records release dia, dari Hippie itu cuma empat lagu aja diambil, aslinya enam lagu sih kalau dari Bad Bad Bad,” ujar Eka ayah beranak satu.

Eka pun menambahkan, bahwa band yang secara filosofis ia maknai sebagai no body perfect ini, sekarang sedang menuju tahap rekaman dengan perusahaan Sony Music Indonesia, “Sekarang kita lagi join sama major label, Sony Music-Indonesia, rencananya awal Juni paling lambat.”

Tidak hanya major yang bisa menjanjikan popularitas dan kekayaan, orisinalitas dalam berkarya pun mereka dapatkan tanpa adanya intervensi apapun dari pihak label, menurut Dethu sang manajer personal, “Pada tahun ke-8 ini mereka pun dilirik major label, Sony Music-Indonesia. Uniknya S.I.D diberi kebebasan sepenuhnya untuk bermusik, membuat cover, dan klip, Sony tidak ikut campur. Mereka hanya minta enam lagu bahasa Inggris dan empat lagu bahasa Indonesia.”

Mengenai kekhawatiran akan adanya eksploitasi dari pihak major label, sang bassist plus backing vocal ini menjawab dengan singkat, “Bukan kita yang dimanfaatkan major, kita yang memanfaatkan major.”

Komentar