Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Ketika The Dead Poet Berkehendak Lain


       Pada akhirnya kisah dalam karya N.H Kleinbaum, 'Dead poet', ini berakhir tragis. Tapi ada beberapa hal yang menjadi simpul hidup tentang sebuah realita yang sebenarnya nyata dan benar-benar  terjadi di sekeliling kita.

            Novel yang diangkat berdasarkan film karya Tom Schulman ini menceritakan petualangan tujuh anak belia dalam menjalankan perannya sebagai pelajar di sekolah yang terkenal keras dengan empat prinsipnya ; Tradisi, Kehormatan, Disiplin, dan kecerdasan. Sekolah itu bernama Welton.

           Di kisahkan. Kapel Akademi Welton, sekolah swasta yang tekurung  di kaki-kaki bukit terpencil daerah Vermont tersebut terdapat kepala sekolah berusia enampuluh tahunan, seorang tua Gale Nolan. Dengan pengalaman dan tempaan hidup mengasah karakter tegasnya dalam memimpin sekolah. Tidak ada basa-basi, dingin, kaku, dan cenderung strukturalis.

        Tetapi ditengah tegaknya aura otorotarian dan monarki kapel tua itu, suasana kegiatan belajar mereka berubah. Adalah John Keating, seorang guru pengganti pelajaran bahasa inggris dengan pembawaan mengajar yang Eksentrik dan tidak pada umumnya, membawa petualangan pencarian jati diri tujuh anak tersebut menjadi berwarna. Sang guru flamboyan menantang mereka untuk "membuat hidupmu menjadi lebih luar biasa!"

           Mengenal dunia imaji yang tak disadari merupakan keseharian kita. Membaca, mempelajari, dan memaknai siratan kata Byron, Shelly, dan Keats di dalam sebuah kelompok yang akhirnya menjadi bagian cerita hidup mereka. Dead Poet Society. Sebuah kelompok yang juga pernah menjadi bagian hidup Keating. Kelompok rahasia yang membebaskan dirinya dari tekanan dan harapan pihak sekolah juga para orang tua. Dalam kelompok ini  ia biarkan nalar, gairah, dan hasrat liar tak terkekang.

           Akan tetapi semua tak semudah yang diharapkan, benturan keras sebuah sistem selalu menemani petualangan intektual dan pencarian jati diri mereka. Diantaranya, Charlie alias Numbawa akhirnya dikenakan sanksi Drop Out karena berusaha mempertahankan identitas kelompoknya terjaga ketika aktifitas mereka dinilai  mayoritas menimbulkan keresahan.

Begitu juga Neil si cerdas, anak belasan tahun yang sedang mencari jatidirinya melalui jalan dunia teatrikal dan drama. Akhirnya tidak berdaya ketika sang orang tua yang ortodoks mendorongnya mewujudkan ambisi masa muda yang tak pernah mereka gapai. Ia dihadapkan pada dogma untuk menjadi pelajar yang patuh akan nasihat dan menjalani rutinitas sistem ajaran sekolah yang mapan akan tradisinya dengan sewajarnya. Tak lebih dari itu.

Merasa potensi tidak berkembang, Neil pun merasa tertekan, ia terkucilkan dari dunia yang memberinya sebuah ruang eksistensi dan ketenangan batin. Akhirnya, hanya tangan yang kemudian terkulai pucat dengan sebuah besi tak jauh dari kesepian kamar dan keheningan malam yang akhirnya terpecahkan di raut hari menjelang pagi. Neil, si anak muda itu memutuskan untuk mengakhiri semuanya, dengan pistol ayahnya ia menyudahi segala keterkungkungan.

            Lain halnya dengan Cameron, ia pada akhirnya dicap sebagai sang penjilat dan akhirnya harus terusir dari komunitas kecil itu karena di cap subversif, dengan menyebarkan identitas Dead Poet kepada sang kepala sekolah, Nolan.

        Tiga contoh kecil dari petualangan tiga bocah diatas mengajak kita untuk mempertanyakan kembali arti sebuah pendidikan. Secara naratif novel tersebut mengajak kita berkontemplasi, apakah kita merupakan salah satu bagian dari peran yang ada dalam novel yang penuh dengan semangat. Sebuah asa untuk meraih potensi sebagi manusia seutuhnya. Terlepas dari cengkraman kapitalisme pendidikan yang semakin menjadi komoditas kaku di era informasi desa globalnya McLuhan dan di tegah dogma mayoritas.

Apakah yang terjadi di keseharian masyarakat kita, dengan diri kita? Akankah tetap membisu diterpa doktrin kemapanan yang mengharuskan kita selaras dengan alur sistem itu, meskipun kontradiktif dengan keyakinan kita. Atau, mencari ruang alternatif lainnya yang dapat menjadikan mahluk rasional ini merdeka menjadi manusia, bukan menjadikan diri sebagai bagian dari mayoritas pragmatis.

Seize the day! Carpe diem.


Komentar