Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Penyaksi Gelora Muda Kota Kembang: Saparua



Pada dekade 90-an pertumbuhan musik kota kembang Bandung musik underground sangat tumbuh subur. Setiap akhir pekan, dengan kaos hitam-hitamnya massa bergerak menuju tempat yang sekarang dikeramatkan, Gelora Saparua nama tempat itu, terletak di Jln. Ambon No.9.

Seperti kebanyakan gedung olah raga, gor ini mempunyai lintasan lari atletik, lapangan sepakbola, lapangan voli, dan lapangan bola basket. Dan secara fungsional sebenarnya gedung tersebut diperuntukkan untuk olahraga pada umumnya. Namun di dekade ketika Kurt Cobain menguncang musik dunia dengan Smells like teen spirit dan irama grungenya yang distortif tersebut, tempat ini menjadi lahan favorit para organizer helaran musik komunitas maupun komersil.

Alasan lain yang menguatkan, selain representatif untuk kegiatan kawula muda dan mudah diakses jalur transportasi, suasananya sekitar GOR ini yang cukup kondusif didukung taman asri dengan pepohonan terbilang rindang untuk ukuran kota. Pada masa kejayaannya, penonton yang telah membeli tiket lebih tertarik untuk berteduh, sekedar bercengkrama, atau membenarkan mohawk-lem-aibon yang diwarnai cat sablon-pun-avian di taman hijau sekitar gor. Mereka datang dari penjuru mata angin Bandung, bahkan ada yang rela jauh datang dari luar kota untuk menyaksikan kelompok musik kesayangannya.

Proto-show legendaris Bandung seperti Hullabaloo II pada akhir 1994 memicu pegiat komunitas musik untuk lebih produktif menghasilkan helaran tandingan seperti Bandung Underground, Sunday Ska, Dozen of Terror, dan event metal lainnya seperti Bandung Berisik. Era keemasan ini menjadikan iklim kreatifitas kota kembang seakan tak mengenal kata surut ditambah festival pelajar dan festival rock sebagai salah satu pupuk pemantik kesuburan.

Contohnya Dozen of Terror, sebuah acara yang dirintis oleh stasiun legendaris Bandung bernama GMR 104.4 FM yang menampilkan kelompok musik terbaik berdasarkan polling pendengar setia radio yang dirintis oleh Samuel Marudut tersebut. Di acara ini kelompok musik dengan beragam genre seperti metal, punk, hardcore, atau rock. Sebutlah nama Koil, Dajjal, Turtle Jr, Burgerkill, Balcony, Virus, Crusade, Logam, Barong dan lainnya yang menjadi tiga belas headliner pilihan pendengar radio yang beroperasi di Jalan Hatta itu.

Untuk menuju areal ini cukup mudah, dari wilayah protokol Jalan Dago atau bilangan Merdeka kita bisa menuju gor yang dikelilingi areal perkantoran militer ini sekira kurang 20 menitan dengan berkendara motor atau angkutan umum. Namun kini areal tersebut tidak lagi jaya seperti ketika masa komunitas underground kerap kali mengadakan acara setiap akhir pekan, sabtu juga minggu, untuk sebuah sebuah hajatan. Alasan yang mengemuka dari pihak penyelenggara adalah adanya kekhawatiran tentang kondisi gedung olah raga tersebut yang tidak lagi menggelora alias rapuh untuk sebuah event hingar-bingar.

 

Komentar