Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Rona Perjalanan Media Nasional

 


Pada dasarnya Bill Kovach mengamahkan dua hal. Pertama penerapan Bylines sebagai salah satu bentuk akuntabilitas wartawan kepada publik dan keberpihakkan wartawan pada kebenaran sebagai wujud integritas pada pelayanan masyarakat.

Pesan itulah yang tersirat dalam sebuah tulisan berjudul “Independensi Bill Kovach : Pembaca surat Kabar Indonesia sulit menilai integritas wartawan.” Oleh Andreas Harsono. Pantau, Januari 2004 silam. Tulisan tersebut mengarisbawahi kinerja media massa nasional, khususnya media cetak yang mempunyai kode etik tersendiri dalam melaksanakan tugasnya mewartakan realitas yang terjadi dalam keseharian kepada masyarakat luas, sesegera dan secapat mungkin dalam hal pencantuman kredit jurnalis.

By lines, yang merupakan pokok tulisan Andreas, merupakan salah satu indikator mengenai pelaksanaan kode etik. Dalam ranah idealnya, hal ini berlaku sebagai etika pertanggungjawaban newsmaker terhadap fakta yang didapatnya melalui proses liputan dan verifikasi di lapangan. Namun sayangnya, penerapan by lines belum begitu membudaya di dunia persuratkabaran nasional.

Selain kepentingan korporasi, banyak faktor yang menyebabkan penerapan By Lines belum membumi di dunia jurnalisme nasional tersebut. Dari segi positifnya, minimal jurnalis mengetahui bahwa pencantuman kredit setiap jurnalis yang diketahui publik secara tidak langsung bakal memacu mereka untuk bekerja lebih baik karena akuntabilitas dan kinerjanya dipertaruhkan di media.

Bagi pembaca yang cerdik, ketiadaan pencantuman nama penulis sebagai proses pertanggungjawaban karya jurnalistiknya kadang sukar untuk dinilai. Kalau Anda pernah baca dan membandingkan media cetak nasional yang beredar di masyarakat, penerapan By Lines dapat di hitung dalam lipatan jari.

Hal ini pula yang dapat kita jadikan sebuah pernyataan hipotesis : apakah semakin maraknya media yang bermunculan dikarenakan identitas penulis tidak mendapat proporsi etik yang penting. Benarkah? Mungkin perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut.

Mengenai tanggungjawab terhadap publik kita bisa berkaca pada sosok Bill Kovach, seorang jurnalis dari negeri paman sam sana. Di usia senjanya, Bill Kovach masih berkesempatan berbagi ilmu jurnalistiknya dengan siapapun. Dengan jam terbang lebih kurang empat dekade dan tentunya dengan pematangan proses yang riil menjadikan integritas pak tua tersebut makin terasah.

Apa yang akan Anda lakukan apabila ada kerabat yang merugikan kepentingan umum, di lain pihak Anda adalah seorang pewarta? Bill menjawab pertanyaan serius tersebut dengan tegas, bahkan kepada anak-anaknya, “Ada aturan dalam rumah tangga saya. Saya selalu bilang pada anak-anak, ‘kalian boleh melakukan apa saja tapi jangan sampai besok perbuatan itu masuk headline surat kabar. Kalau itu terjadi, saya akan meliput kalian sama dengan saya meliput orang lain.” Bagaimana dengan Anda? Jadi, by lines menjadi sesuatu yang pentingkah?

AKAN SELALU AKTUAL

Coba resapi sebuah kalimat teras dibawah ini :

“Tak pelak, langit berubah muram jingga, di batas senja berujung duka.”

Perawakannya tidak seperti layaknya pria pada umumnya. Tinggi sedang sekira 170cm, kecil dengan tulang dibalut daging, pun, berkumis sebagai identitas ke-pria-annya. Akrab dengan sapaan Munir. Ya, kali ini GM berbicara mengenai sosok martir HAM Munir dalam Catatan Pinggir, Tempo, 19 September 2004.

Siapa nyana perjuangan tanpa kenal lelah yang selama ini dilakukannya terhenti sejenak diatas perjalanan menuju negeri tempat dimana ia akan melanjutkan perjuangan menuju kulminasi selanjutnya. Dibarengi pembenahan akademis guna memantapkan pergerakan.

Semua itu sirna diatas sana

Saat reformasi bergulir dan hadirnya pemerintahan sipil. Munir tampil sebagai sosok yang dengan segenap raga dan sepenuh jiwa memperjuangkan hak hidup yang seharusnya diperoleh seseorang. Hak mendapatkan keadilan, salah satu hak mendasar bagi diri manusia. Dengan alasan itu pulalah ia mengumpulkan energinya untuk belajar lebih tentang kewajiban-kewajiban dan kebijaksanaan Negara dalam perlindungan hak azasi manusia di negeri kincir angin, Belanda.

Perkembangan terakhir menyebutkan bahwa Munir meninggal secara tidak wajar. Hasil Otopsi menyimpulkan, beliau meninggal akibat kelebihan zat arsenic yang dikonsumsi tubuh pada normalnya. Dalam kata lain diracun!

Sehingga dari fakta medis tersebut muncul asumsi atau praduga mengenai pembunuhan yang direncanakan oleh seseorang yang terusik oleh aktivitas kemanusiaannya. Sebuah sindikasi intelektual terorganisir.

Siapa yang tak geram jika kepentingan pribadi maupun kelompoknya harus di hadang Munir dengan barisan Kontrasnya – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, sebuah organisasi kemanusiaan yang dibangun Munir beserta kawan-kawan seperjuangannya.

Tidak hanya sampai disitu. Keluarga dan kerabat terdekatnya pun mendapat beragam terror. Mulai dari ancaman melalui telepon maupun pengiriman isyarat ancaman ke kediamannya.

Dalam catatan pinggirnya itu, GM sebenarnya menulis sebuah Surat yang diperuntukan bagi putra-putri Munir di masa yang akan datang, kelak. Gaya khas penulisan sastrawi melekat erat dalam setiap kata, kalimat, maupun yang dilontarkan GM, penuh nuansa human interest. Sangat mengugah dan menyentuh. Pesan akan ketakutan hilangnya sosok yang mungkin takkan pernah muncul lagi di bumi pertiwi ini.

Hingga kini tragedi kemanusiaan tersebut masih belum menemukan pencarian titik terang. Sebelum aktor intelektual terbongkar, berita seputar HAM dan Munir akan selalu aktual.

YANG INI MENAKJUBKAN!

Menakjubkan! Betapa tidak, muka hukum seakan hanya formalitas saja di depan para apparatus Negara. Hukum adalah alat tanpa makna, tak berarti tanpa materi.

Dalam salah satu edisi mingguannya, tertanggal 9 Maret 2003, Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo menaikkan sebuah artikel dalam kolom nasional berjudul “Ada Tomy di Tenabang?”.

Bedasarkan liputan di lapangan, tiga wartawan MBM Tempo yaitu Ahmad Taufik, Bernard Rurit, dan Cahyo Yuniadi menemukan hidden fact yang berkaitan dengan kebakaran pasar pasar tanah abang. Selidik punya selidik, terdapat unsur kesengajaan dalam kebakaran yang meluluh-lantakkan 5.700 kios, 1 trilyun dagangan dan menganggurkan 1,3 juta orang dengan seketika.

Tiga wartawan tersebut menyimpulkan bahwa jauh hari sebelumnya ada keterlibatan antara bos Artha Graha Grup itu dengan Pemerintah Daerah DKI Jakarta – semacam tender simbiosis, You senang I kenyang.

Tomy pun mengajukan gugatan ke pengadilan.

Berbagai reaksi muncul atas kejadian yang melibatkan kapitalis seperti Tomy Winata dengan MBM Tempo. Issue mencuat yaitu mengenai kriminalisasi terhadap insan pers. Betapa tidak, apparatus hukum sebagai garda depan penegak keadilan, hanya diam tak berlaku saat para algojo kiriman TW ‘bertingkah’ di ruang redaksi MBM tempo, pun, ketika berada dalam teritori aparat itu sendiri. Siapapun tak bisa seenaknya menggunakan kekerasan fisik! Apalagi di markas aparat bertengger. Tempo, salah satu pionir media massa Indonesia tak berkutik di meja hijau. Sidang demi sidang dilalui.

TEMPO + Sumber Anonim = US$ 1 juta

Dalam sebuah laporan majalah Pantau, kasus ini makin mencuat ke publik setelah akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan kasus ini bagi TW. Genap satu juta dollar amerika di bebankan kepada media ini atas ganti rugi immaterial berupa pencemaran nama baik dan pembohongan public dengan mengeluarkan berita bohong tanpa kekuatan ‘saksi’. Tempo, menggunakan hal tolaknya dalam menyebutkan ‘sumber rahasia’ bagi kasus tersebut. Andreas Harsono dalam salah satu tulisannya mengatakan, “Mungkin inilah pelajaran berharga. Sebuah sumber anonim, yang keterangannya tidak diverifikasi dengan sumber kedua atau dokumen, bisa jadi awal maraknya gugatan terhadap media.”

Hari gini, uang 1 juta US$ bisa……in your dream!

MENDING YANG MENARIK

Secara Geografis Negara ini terpojok satu sama lainnya. Indonesia, berada dalam kawasan Asia Tenggara sementara Negara Komunis China lebih menjorok ke Benua Eropa.

Apa jadinya apabila dua kota peradaban dunia itu diceritakan dalam bingkai foto? Adalah Oscar Motuloh, sang fotografer senior kantor berita Indonesia, Antara. Dan Zhuang Jin, seorang pewarta foto dari kantor berita China XinHua yang telah dua tahun menyelami belukar ibukota Indonesia, pelaku dokumentasi tersebut.

Dalam karya dua fotografer itu, tersirat kontradiksi budaya. Tema kemiskinan, ironi sosial, ataupun simbolisasi kehidupan menjadi bidikan setiap langkah dokumentasi.

Mari kita tengok foto reruntuhan di salah satu kawasan kumuh China dengan seorang pemuda yang ter-framing dalam rapuhnya batang pohon. Lalu, coba kita lihat foto gedung pencakar langit yang menemani awan biru, terbingkai dalam hasil karya manusia berupa patung naga. Dapat kita simpulkan dalam foto tersebut adanya dua dunia yang berseberangan. Ada yang individu yang ‘kekurangan’ secara materi, tetapi di lain pihak, ada juga yang berlebih dalam membuat materi.

Gedung bertingkat dan patung naga merupakan akulturasi dua budaya. Sang pencakar langit lebih mewakili dunia barat dengan modernitas yang menglobalnya, sementara, patung naga lebih mewakili hasil budaya dari nenek moyang bangsa timur.

Tengok juga foto karya Zhuang Jin. Pertama, sebuah bidikan dalam hiruk pikuk demontrasi dan keseharian kaum miskin Jakarta.Tangan terkepal, bendera tergerai, menandakan semangat manusia akan suatu perubahan yang lebih baik di tengah kemiskinan yang melanda berbagai wilayah di bangsa ini.

Fotografi disini hanya merupakan medium untuk menyampaikan pesan sosial kepada kita. Sebagai wadah retrospeksi dalam bergulirnya kehidupan. Dan secara ‘subjektif’ dua fotografer diatas telah mengatakannya.

Hasil karya dari pertukaran fotografer lintas Negara itu dipamerkan dalam sebuah pameran serempak tanggal 13 Desember 2003 silam, yang berlangsung di dua ibukota yaitu Jakarta dan Beijing, dengan sebuah kesatuan tema : A Tale of Two Cities. Dalam ranah foto jurnalistik Indonesia –khususnya-, hal tersebut merupakan momentum yang berharga sebagai eksitensi foto jurnalistik domestik, baik bagi pelakunya maupun intitusi yang lebih besar diwakilinya.

____

Ilustrasi Pixabay

Komentar