Pada dasarnya Bill Kovach mengamahkan dua hal.
Pertama penerapan Bylines sebagai salah satu bentuk akuntabilitas wartawan
kepada publik dan keberpihakkan wartawan pada kebenaran sebagai wujud
integritas pada pelayanan masyarakat.
Pesan itulah yang tersirat dalam sebuah tulisan
berjudul “Independensi Bill Kovach : Pembaca surat Kabar Indonesia sulit
menilai integritas wartawan.” Oleh
Andreas Harsono. Pantau, Januari 2004 silam. Tulisan tersebut mengarisbawahi
kinerja media massa nasional, khususnya media cetak yang mempunyai kode etik
tersendiri dalam melaksanakan tugasnya mewartakan realitas yang terjadi dalam
keseharian kepada masyarakat luas, sesegera dan secapat mungkin dalam hal
pencantuman kredit jurnalis.
By
lines, yang merupakan pokok tulisan Andreas, merupakan salah satu indikator
mengenai pelaksanaan kode etik. Dalam ranah idealnya, hal ini berlaku sebagai
etika pertanggungjawaban newsmaker terhadap fakta yang didapatnya melalui
proses liputan dan verifikasi di lapangan. Namun sayangnya, penerapan by lines
belum begitu membudaya di dunia persuratkabaran nasional.
Selain
kepentingan korporasi, banyak faktor yang menyebabkan penerapan By Lines belum
membumi di dunia jurnalisme nasional tersebut. Dari segi positifnya, minimal
jurnalis mengetahui bahwa pencantuman kredit setiap jurnalis yang diketahui
publik secara tidak langsung bakal memacu mereka untuk bekerja lebih baik
karena akuntabilitas dan kinerjanya dipertaruhkan di media.
Bagi
pembaca yang cerdik, ketiadaan pencantuman nama penulis sebagai proses
pertanggungjawaban karya jurnalistiknya kadang sukar untuk dinilai. Kalau Anda
pernah baca dan membandingkan media cetak nasional yang beredar di masyarakat,
penerapan By Lines dapat di hitung dalam lipatan jari.
Hal
ini pula yang dapat kita jadikan sebuah pernyataan hipotesis : apakah semakin
maraknya media yang bermunculan dikarenakan identitas penulis tidak mendapat
proporsi etik yang penting. Benarkah? Mungkin perlu diadakan penelitian lebih
lanjut mengenai hal tersebut.
Mengenai
tanggungjawab terhadap publik kita bisa berkaca pada sosok Bill Kovach, seorang
jurnalis dari negeri paman sam sana. Di usia senjanya, Bill Kovach masih
berkesempatan berbagi ilmu jurnalistiknya dengan siapapun. Dengan jam terbang
lebih kurang empat dekade dan tentunya dengan pematangan proses yang riil
menjadikan integritas pak tua tersebut makin terasah.
Apa
yang akan Anda lakukan apabila ada kerabat yang merugikan kepentingan umum, di
lain pihak Anda adalah seorang pewarta? Bill menjawab pertanyaan serius
tersebut dengan tegas, bahkan kepada anak-anaknya, “Ada aturan dalam rumah
tangga saya. Saya selalu bilang pada anak-anak, ‘kalian boleh melakukan apa
saja tapi jangan sampai besok perbuatan itu masuk headline surat kabar. Kalau
itu terjadi, saya akan meliput kalian sama dengan saya meliput orang lain.”
Bagaimana dengan Anda? Jadi, by lines menjadi sesuatu yang pentingkah?
AKAN SELALU AKTUAL
Coba
resapi sebuah kalimat teras dibawah ini :
“Tak pelak, langit berubah muram jingga,
di batas senja berujung duka.”
Perawakannya
tidak seperti layaknya pria pada umumnya. Tinggi sedang sekira 170cm, kecil
dengan tulang dibalut daging, pun, berkumis sebagai identitas ke-pria-annya.
Akrab dengan sapaan Munir. Ya, kali ini GM berbicara mengenai sosok martir HAM
Munir dalam Catatan Pinggir, Tempo, 19 September 2004.
Siapa
nyana perjuangan tanpa kenal lelah yang selama ini dilakukannya terhenti
sejenak diatas perjalanan menuju negeri tempat dimana ia akan melanjutkan
perjuangan menuju kulminasi selanjutnya. Dibarengi pembenahan akademis guna
memantapkan pergerakan.
Semua
itu sirna diatas sana
Saat
reformasi bergulir dan hadirnya pemerintahan sipil. Munir tampil sebagai sosok
yang dengan segenap raga dan sepenuh jiwa memperjuangkan hak hidup yang
seharusnya diperoleh seseorang. Hak mendapatkan keadilan, salah satu hak
mendasar bagi diri manusia. Dengan alasan itu pulalah ia mengumpulkan energinya
untuk belajar lebih tentang kewajiban-kewajiban dan kebijaksanaan Negara dalam
perlindungan hak azasi manusia di negeri kincir angin, Belanda.
Perkembangan
terakhir menyebutkan bahwa Munir meninggal secara tidak wajar. Hasil Otopsi
menyimpulkan, beliau meninggal akibat kelebihan zat arsenic yang dikonsumsi
tubuh pada normalnya. Dalam kata lain diracun!
Sehingga
dari fakta medis tersebut muncul asumsi atau praduga mengenai pembunuhan yang
direncanakan oleh seseorang yang terusik oleh aktivitas kemanusiaannya. Sebuah
sindikasi intelektual terorganisir.
Siapa
yang tak geram jika kepentingan pribadi maupun kelompoknya harus di hadang
Munir dengan barisan Kontrasnya – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak
Kekerasan, sebuah organisasi kemanusiaan yang dibangun Munir beserta
kawan-kawan seperjuangannya.
Tidak
hanya sampai disitu. Keluarga dan kerabat terdekatnya pun mendapat beragam
terror. Mulai dari ancaman melalui telepon maupun pengiriman isyarat ancaman ke
kediamannya.
Dalam
catatan pinggirnya itu, GM sebenarnya menulis sebuah Surat yang diperuntukan
bagi putra-putri Munir di masa yang akan datang, kelak. Gaya khas penulisan
sastrawi melekat erat dalam setiap kata, kalimat, maupun yang dilontarkan GM,
penuh nuansa human interest. Sangat mengugah dan menyentuh. Pesan akan
ketakutan hilangnya sosok yang mungkin takkan pernah muncul lagi di bumi
pertiwi ini.
Hingga
kini tragedi kemanusiaan tersebut masih belum menemukan pencarian titik terang.
Sebelum aktor intelektual terbongkar, berita seputar HAM dan Munir akan selalu
aktual.
YANG INI MENAKJUBKAN!
Menakjubkan!
Betapa tidak, muka hukum seakan hanya formalitas saja di depan para apparatus
Negara. Hukum adalah alat tanpa makna, tak berarti tanpa materi.
Dalam
salah satu edisi mingguannya, tertanggal 9 Maret 2003, Majalah Berita Mingguan
(MBM) Tempo menaikkan sebuah artikel dalam kolom nasional berjudul “Ada Tomy di
Tenabang?”.
Bedasarkan
liputan di lapangan, tiga wartawan MBM Tempo yaitu Ahmad Taufik, Bernard Rurit,
dan Cahyo Yuniadi menemukan hidden fact yang berkaitan dengan kebakaran pasar
pasar tanah abang. Selidik punya selidik, terdapat unsur kesengajaan dalam
kebakaran yang meluluh-lantakkan 5.700 kios, 1 trilyun dagangan dan
menganggurkan 1,3 juta orang dengan seketika.
Tiga
wartawan tersebut menyimpulkan bahwa jauh hari sebelumnya ada keterlibatan
antara bos Artha Graha Grup itu dengan Pemerintah Daerah DKI Jakarta – semacam
tender simbiosis, You senang I kenyang.
Tomy
pun mengajukan gugatan ke pengadilan.
Berbagai
reaksi muncul atas kejadian yang melibatkan kapitalis seperti Tomy Winata dengan
MBM Tempo. Issue mencuat yaitu mengenai kriminalisasi terhadap insan pers.
Betapa tidak, apparatus hukum sebagai garda depan penegak keadilan, hanya diam
tak berlaku saat para algojo kiriman TW ‘bertingkah’ di ruang redaksi MBM
tempo, pun, ketika berada dalam teritori aparat itu sendiri. Siapapun tak bisa
seenaknya menggunakan kekerasan fisik! Apalagi di markas aparat bertengger.
Tempo, salah satu pionir media massa Indonesia tak berkutik di meja hijau.
Sidang demi sidang dilalui.
TEMPO
+ Sumber Anonim = US$ 1 juta
Dalam
sebuah laporan majalah Pantau, kasus ini makin mencuat ke publik setelah
akhirnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan kasus ini bagi TW. Genap
satu juta dollar amerika di bebankan kepada media ini atas ganti rugi
immaterial berupa pencemaran nama baik dan pembohongan public dengan
mengeluarkan berita bohong tanpa kekuatan ‘saksi’. Tempo, menggunakan hal
tolaknya dalam menyebutkan ‘sumber rahasia’ bagi kasus tersebut. Andreas
Harsono dalam salah satu tulisannya mengatakan, “Mungkin inilah pelajaran
berharga. Sebuah sumber anonim, yang keterangannya tidak diverifikasi dengan
sumber kedua atau dokumen, bisa jadi awal maraknya gugatan terhadap media.”
Hari
gini, uang 1 juta US$ bisa……in your dream!
MENDING YANG MENARIK
Secara
Geografis Negara ini terpojok satu sama lainnya. Indonesia, berada dalam
kawasan Asia Tenggara sementara Negara Komunis China lebih menjorok ke Benua
Eropa.
Apa
jadinya apabila dua kota peradaban dunia itu diceritakan dalam bingkai foto?
Adalah Oscar Motuloh, sang fotografer senior kantor berita Indonesia, Antara.
Dan Zhuang Jin, seorang pewarta foto dari kantor berita China XinHua yang telah
dua tahun menyelami belukar ibukota Indonesia, pelaku dokumentasi tersebut.
Dalam
karya dua fotografer itu, tersirat kontradiksi budaya. Tema kemiskinan, ironi
sosial, ataupun simbolisasi kehidupan menjadi bidikan setiap langkah
dokumentasi.
Mari
kita tengok foto reruntuhan di salah satu kawasan kumuh China dengan seorang
pemuda yang ter-framing dalam rapuhnya batang pohon. Lalu, coba kita lihat foto
gedung pencakar langit yang menemani awan biru, terbingkai dalam hasil karya
manusia berupa patung naga. Dapat kita simpulkan dalam foto tersebut adanya dua
dunia yang berseberangan. Ada yang individu yang ‘kekurangan’ secara materi,
tetapi di lain pihak, ada juga yang berlebih dalam membuat materi.
Gedung
bertingkat dan patung naga merupakan akulturasi dua budaya. Sang pencakar
langit lebih mewakili dunia barat dengan modernitas yang menglobalnya,
sementara, patung naga lebih mewakili hasil budaya dari nenek moyang bangsa
timur.
Tengok
juga foto karya Zhuang Jin. Pertama, sebuah bidikan dalam hiruk pikuk
demontrasi dan keseharian kaum miskin Jakarta.Tangan terkepal, bendera
tergerai, menandakan semangat manusia akan suatu perubahan yang lebih baik di
tengah kemiskinan yang melanda berbagai wilayah di bangsa ini.
Fotografi
disini hanya merupakan medium untuk menyampaikan pesan sosial kepada kita.
Sebagai wadah retrospeksi dalam bergulirnya kehidupan. Dan secara ‘subjektif’
dua fotografer diatas telah mengatakannya.
Hasil karya dari pertukaran fotografer lintas Negara itu
dipamerkan dalam sebuah pameran serempak tanggal 13 Desember 2003 silam, yang
berlangsung di dua ibukota yaitu Jakarta dan Beijing, dengan sebuah kesatuan
tema : A Tale of Two Cities. Dalam ranah foto jurnalistik Indonesia
–khususnya-, hal tersebut merupakan momentum yang berharga sebagai eksitensi
foto jurnalistik domestik, baik bagi pelakunya maupun intitusi yang lebih besar
diwakilinya.
____
Ilustrasi Pixabay
Komentar
Posting Komentar