Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Tukul, Darso, dan Demokrasi: Opini Tentang Peranan Pemuka Pendapat Dalam Sebuah Pemilihan


Pemilihan umum pada hakikatnya diselenggarakan oleh tiap bangsa sebagai proses demokratisasi di wilayahnya itu sendiri. Dengan esensi Demos dan Kratos, selayaknya, bahwa pemilu diselenggarakan atas dari keinginan rakyat untuk mengubah taraf kehidupan ke arah yang lebih baik. Indonesia, dengan sistem presidensil dan juga negara kepulauan yang mengatasnamakan dirinya sebagai republik telah melaksanakan hajatan lima tahun sekali dengan berbagai dinamika dan konteks tersendiri.

Diawal pertama kali pemilu dilaksanakan, tujuan diadakannya pemilihan umum dilandaskan pada beberapa asumsi. Pertama, sebagai negara yang baru merdeka dan berdaulat atas dirinya sendiri, Indonesia, perlu membenahi urusan rumah tangganya di berbagai lini kehidupan, terutama menyangkut Ipoleksosbudhamkamrata (Ilmu pengetahuan, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahahanan dan Keamanan), dan dalam hal ini pemilu merupakan prasayarat suatu bangsa untuk dikatakan sebagai suatu negara yang berdaulat dan merdeka, yaitu memiliki pemerintahan yang berlaku.

Selanjutnya, pemilu dilaksanakan selain sebagai formalitas pengakuan suatu bangsa dikatakan negara, pemilu juga dilangsungkan guna mempertahankan eksistensi Indonesia itu sendiri di mata internasional. Seperti kita ketahui, paska kemerdekaan, gerakan politik para penjajah tidaklah berhenti pada kolonialisme fisik, tetapi secara eksplisit dengan dilakukan lebih kepada diplomasi politik yang pada intinya berusaha untuk menegakkan pemerintahannya berdaulat kembali di daerah koloni. Maka tak ayal apabila pemilu pada waktu itu dikatakan sebagai ‘pesta-eksistensi’ negara, yang merupakan hajatan demokrasi bagi rakyat yang baru mengklaim negaranya merdeka. Pemilu 1955 pun disambut euforia.

Elemen masyarakat dituntut berperan peran aktif.

Berbeda dengan pemilu diawal kemerdekaan, pemilu dewasa ini dilaksanakan tidak hanya sebagai pemenuhan prasayat suatu negara dengan pemerintahannya sendiri. Pemilu yang telah sekira dilaksanakan untuk kesekian kali ini bermetamorfosis bersama proses yang melingkupinya. Berbagai elemen masyarakat lebih berperan aktif ketimbang masa lalu yang cenderung hanya digunakan untuk memilih pemimpin bangsa. Baik itu elit politik sebagai pelaku yang berada pada level atas, Opinion Leader, pemerhati pemerintahan, LSM yang concern pada dinamika politik bangsa, maupun rakyat itu sendiri sebagai grass root dan penentu laju kemanakah demokrasi akan diarahkan. Elemen masyarakat tersebut mempunyai peranan krusialnya masing–masing.

Opinion Leader atau pemuka pendapat adalah hal yang akan kita bahas lebih lanjut. Tentunya dengan situasi dan kondisi demokrasi Indonesia sekarang ini, apalagi berbicara mengenai pemilihan umum (kepala daerah atau eksekutif) dengan peran serta Opinion Leader sebagai komunikator politik, ada hal mendasar yang menjadi pertanyaan. Semisal, peran apakah yang sebenarnya dilakukan seorang pemuka pendapat? Lalu, karateristik pemuka pendapat seperti apakah yang bisa jadi panutan rakyat dalam hal informasi politik dan atau masalah aktual lainnya?

Sebelumnya, mari kita telusuri terlebih dahulu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan pemuka pendapat atau istilah asingnya opinion leader itu. Secara etimologis, opinion leader, berangkat dari dua kata yaitu opinion dan leader. Opini, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu pendapat ; pikiran ; atau pendirian. Tetapi dalam konteks politik, opini yang dimaksud disini adalah opini yang munculnya dan atau berkembang dari persfektif publik atau rakyat pada umumnya.

Sedangkan kata lainnya, leader, secara simplistis diartikan sebagai seorang pemimpin atau pemuka. Jadi, apa dan siapakah pemuka pendapat itu? Sebelumnya, ada tiga macam komunikator politik jikalau kita berbicara dalam konteks politik (dengan aspek Pemilihan Umumnya). Yaitu politikus, profesional, dan aktifis.

Dalam kategori masing–masing diatas, ada komunikator politik yang melaksanakan tugas perwakilan dan persuasif. Yang menekankan tugas perwakilan diantara sumber dan khalayak adalah wakil partai jurnalis, dan juru bicara yang menetapkan, melukiskan, dan mengubah situasi dengan berbagai alasan, ada juga komunikator yang mempersuasi (layaknya propagandis dengan good news-nya), misalnya, perubahan titik pandang dalam situasi tertentu – Ideolog, promotor, tim suksesi, dan pemuka pendapat yang dapat juga dikategorikan pada pihak perwakilan.

Opinion leader atau pemuka pendapat bisa berada di antaranya. Yang membedakan diantara semuanya adalah cara berpikir, bertindak tentang politik adalah mereka dalam proses opini. Singkatnya, orang yang dimintai petunjuk dan informasinya itulah disebut “pemuka pendapat”.

Proses opini timbul dikarenakan ada korelasi antara kepercayaan, nilai, dan usul yang dikemukakan oleh perseorangan di depan umum dengan kebijakan yang dibuat oleh pejabat terpilih dalam mengatur perbuatan politik. Dari proses opini inilah para pemuka pendapat dapat mengetahui sejauh mana opini yang berkembang di khalayak luas - rakyat.

Ada beberapa tahap dalam pencapaian proses opini. Pertama, Konstruksi Personal, yaitu tahap dimana individu mengamati segala sesuatu, menginterpretasikannya, dan menyusun makna objek–objek politik secara sendiri sendiri dan subjektif. Kedua, Konstruksi Sosial, yaitu tahap menyatakan opini pribadi di depan umum. Ada tiga bentuk pernyataan dari point dua ini. (1) Pemberian dan penerimaan opini pribadi di dalam kelompok sosial yang menghasilkan opini kelompok. Misalnya pernyataan Gusdur akan penolakan hasil pemilu 2004 hingga akhirnya menimbulkan opini Golput di sebagian kalangan santri NU, dimana Gusdur seperti yang kita ketahui merupakan opinion leader bagi warga NU. (2) Jika orang mengungkapkan pandangannya bukan melalui kelompok terorganisasi melainkan melalui kebebasan pribadi yang relatif di tempat pemberian suara maka pilihan yang dibuat dalam keadaan tersendiri dan terpisah satu sama lain membentuk opini massa. Hasyim Muzadi misalnya, di pemilihan lalu, ia mencalonkan diri atas kehendak pribadi dalam mengungkapkan pandangan dan keinginannya sebagai calon pemimpin Indonesia. Meskipun dengan berbagai resiko yang diterimanya. (3) Opini Massa pada umumnya merupakan pandangan yang baur dan dan tak terorganisasi yang sering disimbolkan sebagai budaya, konsensus, dan apa yang oleh politikus lazim disebut “opini publik”.

Dan Nimmo, penulis “Komunikasi Politik”, mengatakan bahwa Opini publik adalah : “kumpulan pendapat orang mengenai hal ihwal yang mempengaruhi atau menarik minat komunitas”;”cara singkat untuk melukiskan kepercayaan atau keyakinan yang berlaku di masyarakat tertentu bahwa hukum –hukum tertentu bermanfaat”;”suatu gejala dan proses kelompok”;” dan opini pribadi orang –orang yang dianggap pemerintah dianggap bijaksana untuk diindahkan”.

Dan yang terakhir dari proses opini, yaitu Konstruksi Politik, yaitu tahap yang menghubungkan opini publik, opini rakyat, dan opini massa dengan kegiatan para pejabat publik. Rakyat dalam Pemilihan Umum 2004 lalu dihadapkan pada pembuatan keputusan yang bersifat politis (seperti memilih Cawapres/Wapres dari kubu mana. SBY atau Mega?) meminta petunjuk dari orang yang dihormati mereka, apakah hal tersebut dilakukan untuk memperkuat putusan yang telah ditetapkan atau memperkuat putusan yang harus dibuat. Dalam keadaan seperti inilah idealnya para pemuka pendapat yang netral diharapkan muncul untuk memberikan pencerahan. Kenapa?

Pada umumnya para komunikator politik, dalam hal ini seperti pemuka pendapat atau opinion leader, selalu mendapat perhatian lebih apabila mereka berbicara dan berbuat, dibanding dengan warga negara pada umumnya yang merupakan bagian integral dari sistem sosial itu sendiri. Komunikator politik seperti seorang pemuka pendapat, merupakan salah satu subjek krusial yang menduduki posisi yang peka dalam jaringan sosial. Dalam pandangan masyarakat (pemilih), ia dianggap orang yang dapat menanggapi berbagai tekanan dengan menolak dan memilih informasi yang terjadi dalam suatu sistem sosial yang berlaku. Selain itu konsistensi dan kontinuitas merupakan aspek penting lainnya yang menjadikan pemuka pendapat adalah orang capable yang lebih sering di dengar pendapatnya. Dua kalimat terakhir diatas dapat kita asumsikan sebagai salah satu jawaban dari pertanyaan diawal paragraf tadi : mengapa pemuka pendapat mempunyai nilai lebih ketimbang warga negara pada umumnya?

Dalam pemilihan umum 2004 lalu, pada umumnya, mereka tampil dalam dua bidang. Pertama, mereka (sangat) mempengaruhi keputusan orang lain; artinya, seperti politikus ideologis dan promotor profesional, mereka meyakinkan orang lain kepada cara berpikir mereka. Pemuka pendapat seperti ini lebih menonjolkan aspek kesamaan frame ideologis dengan pilihannya (baik individu maupun institusi). Semisal Goenawan Muhammad, seorang pemuka pendapat dan juga tokoh di bidang pers Indonesia, meskipun mendukung salah satu partai pada pemilihan yang lalu dikarenakan ada aspek kesamaan persepsi ideologis dengan calon tersebut tetapi ia tetap menjaga koridor sebagai information source/opinion leader bagi yang membutuhkannya.

Karakteristik seorang pemuka seperti ini biasanya tidak terlalu mementingkan aspek materi seperti promotor professional umumnya. Mereka cenderung untuk merealisasikan ide, gagasan, dan pemikirannya tentang perubahan Indonesia ke depan (meski hal ini perlu dipertanyakan lagi).

Maka dapat dibayangkan ekses seperti apa yang akan timbul apabila seorang pemuka pendapat ternyata adalah orang yang selama ini dedikasi dan kontribusinya concern pada bidang tertentu. Pertanyaan dasar akan kembali mencuat : apakah ada jaminan bahwa pemuka pendapat bisa meyakinkan publik dengan cara berpikirnya, terlebih, jika dia berafiliasi dengan suatu lembaga politik?

Beda dengan sebelumnya, kalau promotor profesional lebih mengutamakan aspek materi daripada sebagai opinion leader yang sedikitnya memberikan pendidikan politik kepada publik. Promotor profesional ini cocoknya muncul dari individu yang mendapat tempat di masyarakat, seperti artis. Dengan popularitasnya, mereka bisa mengiring massa sebagai jembatan penghubung dengan parpol peserta pemilu tertentu. Tentunya dengan materi informasi yang pro terhadap kepentingan partai. Maka personifikasi popular seperti Tukul akan sangat ampuh dalam melancarkan propaganda politik jikalau melihat kecenderungan masyarakat yang kian jenuh akan lip service tokoh-tokoh politik nasional. Artis sebagai aktor promotor professional adalah figur persuatif yang tepat bagi leisure class masyarakat Indonesia.

Selain itu, yang kedua, pemuka pendapat disamping memberikan petunjuk ia juga berfungsi ganda sebagai meneruskan informasi politik yang berkembang dari media massa kepada masyarakat umum. Pemuka pendapat dengan karakteristik seperti ini biasanya berpihak pada opini atau kehendak yang berkembang di kalangan mayoritas. Dalam artian lain, komunikator politik seperti ini melaksanakan tugas perwakilan, yang menekankan tugas perwakilan diantara sumber (pelaku-pelaku politik –Capres/Cawapres Pemilu 2004) dan khalayak (para pemilih), dengan tujuan yang lebih mencari jalan tengah atau rasionalisasi solusi yang terbaik. Nurcholish Madjid, salah seorang cendikia muslim Indonesia dapat dikategorikan sebagai pemuka pendapat yang dapat merepresentasikan opini yang berkembang di mayoritas (rakyat), meskipun kiprah hidupnya tidak dilibatkan penuh di perpolitikan nasional.

Lain halnya dengan media massa. Dalam hal ini ia merupakan medium bagi para pemuka pendapat untuk mengutarakan gagasannya mengenai suatu hal, seperti pemilu misalnya. Pada awal pemilihan Capres/Cawapres dari partai Golkar, Surya Paloh, seorang pemuka pendapat di kalangan media, memanfaatkan moment tersebut tidak hanya bagi kepentingan pribadinya, tetapi gerbong kepentingan kelompok ikut menyertainya di balik agitasi programnya.

Tak heran, berbagai reaksi keras berdatangan dari berbagai pihak yang merasa dirugikan, terutama dari kalangan yang menyoroti independensi pers sebagai media massa. Pemuka pendapat seperti ini yang harus dihindari jikalau hanya mementingkan keunggulan sektarian semata. Namun, yang lebih penting kekuasaan seseorang yang sangat besar dalam media massa sebagai pemuka pendapat harus dimanfaatkan untuk tujuan pemberdayaan pendidikan politik. To inform the goodness of political will.

Oleh karena itu tak tapat dipungkiri apabila peranan seorang pemuka pendapat atau opinion leader sangatlah penting sekali, terlebih apabila ia merupakan bagian dari tim suksesi pemenangan “pesta akbar” pemilu yang bertugas meyakinkan para pemilih pada setiap kesempatan pemilihan. Tapi diantara semuanya, para pemilih harus mencermati secara cermat konstruksi pemikiran seorang pemuka pendapat dalam setiap pemilihan (baca : kepala daerah atau pemilihan Presiden/Wapres).

Kita, rakyat sebagai representasi dari grass root secara tidak langsung dituntut untuk lebih mawas terhadap berbagai bentuk kepentingan sesaat para elit. Pembelajaran terhadap sejarah merupakan guru terbaik bagi kita, apakah masih memilih para figur poros tengah, senda gurau Darso, atau Doel Sumbang sebagai sandaran untuk merenung, berpikir, paham, dan bersikap dalam sebuah pemilihan terdekat. “Geus paheut urang deukeutkeun, geus deukeut urang….”

Selamat mengamati.

 

Komentar