Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Dari Jakarta Underground untuk Indonesia


"Mereka sangat ramah dan terbuka, satu hal ditunjukkan adalah rasa percaya diri untuk berkomunikasi, tidak usah takut dengan keterbatasan bahasa, dan mereka pun akan mengerti kita."

-Robin Hutagaol, tentang sikap egaliter untuk berkomunikasi dengan musisi manapun, baik yang berasal dari dalam atau luar negeri.

 

Suasana hari itu menjelang sore, para penonton sudah mulai ramai mengelilingi area pertunjukan. Sosok yang satu ini nampak membaur dengan massa diluar pintu masuk acara, tak lama kemudian setelah acara dimulai ia bergegas masuk, berkeliling, dan menyapa kolega lamanya. Ia menjadi saksi acara yang bertajuk Disgorge-Live Indogrindnesia Tour 2004, sebuah eksebisi musik super ekstrim yang mendaulat Disgorge sebagai salah satu benih kelompok musik berbahaya dari komunitas metal California dan indikator percaturan death metal kontemporer internasional.

Dengan sepatu New Rocks, celana pendek hitam, piercing, dua gelang kulit dengan duri spike, dan kaos hitam bertuliskan kelompok musik yang dibidanya kala itu, Noxa, semakin kuatlah identitas yang dicitrakan oleh sang empunya nama Robin Hutagaol. Metalheads! Di sela pertunjukan berlangsung, Robin yang semasa hidupnya dikenal komunitas musik tanah air khususnya Jakarta underground sebagai penabuh drum pionir genre trash, Sucker Head, itu nampak serius memperhatikan performa perdana dari Levi Fuselier (vokal), Ben Marlin (bas), Diego Sanchez (gitar), dan terutama Rick Meyers pada drum.

Tak tanggung ia berada di area mixing untuk membantu teknisi belakang panggung membenahi kualitas suara mereka. Ia seakan memaklumi kebutuhan kelompok musik ini diatas panggung untuk tampil prima dengan kerapatan hiper drum di track lawas seperti She lay Gutted yang dimainkan Rick, bersanding dengan kerapatan tangga nada yang disuguhkan Diego seperti dalam Consume the forsaken. Kelompok ini tampil tanpa tedeng aling-aling, buas dan beringas, performa Ben yang dikenal ramah berubah seratus delapan puluh derajat sepadan dengan suara vokal Levi yang rendah dan menggerutu.

Ini salah satu kontribusi kecil yang dilakukan seorang penggila dan pengemar musik cadas yang hanya berusia sampai umur 35 tahun untuk menyukseskan penampilan perdana kelompok musik asal San Diego pada 2 dan 3 Mei 2004 silam. Acara sederhana pun terbilang aman dan sukses meski hanya dihadiri sekitar 200-an penonton, buktinya, mereka melakukan lawatan untuk kedua pada tahun-tahun berikutnya dengan promotor yang sama, Deep Insight.

"Robin itu metal banget, dia pingin hidup dari musik metal, dari apa yang dia suka dan hobi. Dia pingin membuktikan kalau musik metal bukan sekadar hobi tapi bisa menguntungkan juga dan dia berhasil di sana. Musik metal bisa menghidupi elo, bisa dijadikan pegangan hidup," kenang Joni seperti yang dituturkannya kepada Rolling Stone Indonesia, sobat kental yang telah berteman lebih dari dua puluh lima tahun dengan almarhum dan selama sepuluh tahun terakhir membuka toko metal Ishkabible di Jakarta.

Meski berumur singkat karena menjadi korban tabrak lari Januari 2009 lalu, pengabdiannya terhadap musik metal dikenang seumur hidup! Ia berjuang keras untuk menorehkan merah putih di kancah metal internasional. Cita-cita ini yang akhirnya diteruskan oleh Tonny (vokal), Nyoman (bass), Ade (gitar) dan Alvin (drums) selama durasi 40 menit dengan komposisi super cepat grind core ala Napalm Death atau Terrorizer dalam sebuah open air festival bernama Obscene Extreme Fest pada 14-16 Juli 2010 lalu di Republik Chech.

Selain Noxa yang tampil pada hari pertama, acara tahunan yang telah menampilkan 381 kelompok musik berbagai dunia kurun 1999-2009 itu menghadirkan Misery Index, Doom, D.R.I, Cripple Bastards, Avulsed, dan total 66 partisipan dengan tajuk Silence is sucks.


Komentar