Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Si Raja Kendang-Kendut: Rhoma



Raden Oma Irama adalah fenomena unik ditengah dominasi perkembangan musik barat di Indonesia. Di masa kelahiran Soneta kelompok musik yang digawanginya, muncul sosok kelompok musik rock dunia seperti Deep Purple, Led Zeppelin, dan generasi bunga mewabahi budaya dan perilaku anak muda.

Rambut gondrong adalah entitas dari anti kemapanan. Bercinta, pengunaan lsd dan ganja seperti kaum rasta seolah menjadi aktifitas utama ketimbang diskursus tentang realita sosial. Sedari Tahun 1973, pria yang disapa Bang Haji ini seolah cerminan tersendiri. Kuat dengan visi jauh ke depan yang akan dijalaninya kelak bersama kelompok musiknya, Soneta, meski Bang Haji tidak menampik pengaruh rock mancanegara seperti Deep Purple pada masa rintisan awal ketika meramu identitas bermusik.

Mengedepankan perpaduan nada dan dakwah dengan unsur distorsi rock dan harmoni instrumen kendang yang bersuara dang juga dut maka lahirlah sebuah akronim untuk menyebut genre musik tersebut, dangdut. Andrew N. Weintraub, seorang professor dari Universitas Pittsburg yang akhirnya menulis perjuangan iman si raja musik dangdut ini kedalam sebuah buku berjudul Dangdut Stories menyatakan, "Dangdut itu musik soul, semua yang mendengarkannya pasti bergoyang."

Berkat konsistensi menekuni dunia kesenimanan dengan bermusik ditambah boomingnya popularitas film Nada dan Dakwah yang dibintanginya, sosok Bang Haji menjadi maskot partai politik religius Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan anggota dewan utusan golongan pada zaman Soeharto memerintah secara despotik dan sistemik beserta kroninya selama 32 tahun sebelum akhirnya digulingkan dengan kekuatan people power oleh mahasiswa Indonesia dan pro reformis pada 21 Mei 1998.

Kabar teranyar Rhoma Irama, 64 tahun, baru ini adalah rilisnya single lagu Azza, di Mesir. Dengan latar belakang tiga negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Mesir lagu baru tersebut menjadi petanda eksistensi Bang Haji dalam kancah musik nasional. Azza adalah single baru bernuansa religi yang berasal dari kata Allah azza wa jalla, dengan syair kontemplatif, dan gerakan tari yang disimbolkan dari asmaul husna. "Musik dan dakwah adalah satu kesatuan. Dalam musik saya juga berdakwah," ujar Rhoma Irama kepada Tempo.

Tapi perjalanan Rhoma penuh liku untuk mencapai titik kesetimbangan sekarang, sebelumnya, sosok ini dilanda pro kontra tentang kegeramannya kepada pedangdut seperti Inul Daratista yang menurutnya sudah melanggar etika dengan memberikan goyangan erotis yang tidak layak untuk konsumsi publik dan telah menodai citra musik dangdut yang diperjuangkannya berpuluh-puluh tahun lalu.

Guna menjernihkan persoalan antara Rhoma dan Inul supaya tidak berat sebelah dan menjadi konflik personal-horizontal itu pun ia harus diajak berkonsultasi dengan mantan Presiden Republik Indonesia, Bapak Pluralisme, Abdurrahman Wahid yang dianggapnya dapat membantu menengahi. Sang raja musik dangdut tersebut datang dengan tasbih di tangan dengan, hadir diantaranya juga Addie M. Massardi, Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi, dan Eggi Sujana sebagai pemrakarsa pertemuan tersebut.

Komentar