Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

A Luta Continua, Ikhtiar Memperpanjang Dialog Akar Rumpun


Dialog mengenai perubahan tidak melulu menjadi hak prerogatif parlemen, hal ini akan lebih hidup justru di tengah obrolan warung kopi komunitas masyarakat yang pro-aktif dengan versi mandirinya.

 

Sebagai respon solidaritas terhadap penggusuran lahan hidup dan konflik agraria di Rembang, Pandang Raya, Bandung & dimana saja di Nusantara, Kerja Kolektif Jaringan yang terdiri dari Perpustakaan Jalanan, Boredoom, Grimloc, Bandung Pyrate Punx, Rumah Pirata, Himadu, Network of Friends dan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris mengadakan sebuah kegiatan bertajuk "A Luta Continua".

Acara tersebut berlokasi di ABCD Rempag, Ruang Hima Universitas Pasundan, Setiabudi No. 193, Sabtu, 1 November 2014, pukul 2.00 BBWI sampai dengan tengah malam. Sesi diskusi dimediasi oleh Herry Sutresna dan Billy Agustan, dan acara keseluruhan dipandu oleh Adi dari Error Brain. Pertunjukan langsung diawali dengan penampilan pembacaan puisi, musik akustik, lalu dilanjut dengan penampil seperti Ayperos, KontraSosial, dan Eviction yang semuanya tampil bergemuruh di lorong Ruang Himpunan Mahasiswa Universitas Pasundan, Setiabudi, Bandung.

Adapun rangkaian acara terdiri dari beragam menu, pertama, Lapak Gratis, sebuah kegiatan stimulus untuk merangsang masyarakat mengenai dekonsumerisme dengan cara ‘berbagi’, disini partisipan dalam bagian komunitas diajak untuk berdialog mengenai kebutuhan primer dengan solusi yang tidak selalu bersifat nilai tukar. Kedua, Artshow Poster Solidarity, atau Pertunjukan Poster Solidaritas, sebuah kegiatan eksebisi solidaritas melalui karya rupa yang digawangi oleh Perpustakaan Jalanan, Boredoom, dan Himadu dengan latar partisipan yang mengirimkan masukan karyanya.

Ketiga, Pemutaran Film Dokumenter, pengunjung ‘A Luta Continua’ diajak untuk menyaksikan karya film yang terkait dengan isu agraria dan kondisi ri’il sosial di Nusantara secara umum, khususnya di Rembang. Acara tidak berlangsung monolog melainkan diselingi diskusi sekaligus untuk mencairkan gunung es. Kasus per kasus coba ditelaah dalam diskusi informal tersebut, mulai dari kekerasan struktural negara kepada rakyatnya sampai mengulas bagaimana kiat bertahan menyerukan perubahan dan hak warga ditengah represi aparatus dan pemodal. Fenomena jam malam di Bandung, misalnya.

Menariknya juga, dalam helaran tersebut ada pojok literatur dengan menu utama yang spesifik berupa ‘Lapak Literatur Anarkis dan Anti Otoritarian’, kehadiran buku-buku tersebut manjadi nilai lebih dalam sebuah eksebisi musik tanpa kehadiran dukungan korporasi tembakau yan selalu eksis bahkan dalam gig yang diklaim bawah tanah sekalipun. Hadir mengelilingi situs acara para relawan kotak amal ‘Lapak Donasi Rembang dan Pandang Raya’, seluruh dana yang dikumpulkan tersebut seratus persen ditujukan bagi Masyarakat Rembang dan Pandang Raya yang sedang aktual baru-baru ini.

Pamuncak acara ini adalah ‘Pembacaan Puisi dan Respon Publik’ mengenai isu yang dibahas dalam ‘A Luta Continua’, lalu dihajar dengan rentetan gemuruh distorsi oleh para penampil seperti Ayperos (necropunk), Kontrasosial (d-beat punk), Eviction (crust n roll) diantara penyaji yang juga ambil bagian seperti Talamariam (spoken words), We The People! (hc/punk), Sampar (acoustic), StrikeBack (hardcore), dan Disabled (crust) sampai permainan visual analog OHP dalam agenda.

Tentunya kegiatan positif seperti ini harus terus disemai, dimanapun di Nusantara, menuju masyarakat yang dinamis dan intim diantara komunitas terkecilnya dalam memperbarui kultur zaman. Tidak ada lagi fenomena massa mengambang atau strata-sosial-ngehek, karena di era informasi ini kebodohan adalah sebuah pilihan. Dan kembali ke zaman yang enak adalah kepada Indonesia yang bergembira semua, bersuka ria, seluruh poros ikut berjuang.

Komentar