Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Om Swastyastu, Sebuah Definisi


Assalamualaikum, begitu sapa para jamaah muslim ketika bertemu rekan satu imannya.  Pesan singkat tersebut mengandung makna yang simplistis namun dalam. Sebuah pesan untuk mendoakan semoga dalam yang mengucapkan dan mendapat ucapan salam berada dalam keselamatan dan lindungan Yang Maha Kuasa.

Hal tersebut mengandung makna yang kurang lebih sama dengan sapaan khas muslim tersebut, yaitu, sebuah kata 'om'. Kata ini begitu populer akhir-akhir ini. Sering kali kita mendapati di layar televisi nasional para anggota dewan mengucapkan salam Om Swastyastu dalam sidang resmi tersebut.

Secara gramatikal kalimat Om Syastyastu berasal dari bahasa lelulur, sansakerta, yang terdiri dari kesatuan tiga kata. Om, Swasti, dan Astu. Secara harfiah Om adalah kata sakral tertua dalam agama Hindu sebagai simbolisasi seruan kepada Sang Maha Pencipta sebagai wujud doa atau puja-puji. Kata ini, Om,  memilki makna fungsional untuk mencipta, memelihara, dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di dunia ini. Om sebagai representasi dari keilahian.

Lalu setelah Om dilanjut kata Swasti, yang secara harfiah berarti selamat, bahagia, atau sejahtera. Perkembangan lanjutan menunjukkan bahwa dari kata Swasti inilah istilah Swastika mengemuka sebagai perwakilan simbol agama Hindu secara general. Ikonisasi kata Swasti menjadikannya Swastika sebagai simbol dari kebahagiaan dan keselamatan yang langgeng sebagai wujud kredo mengimani Hindu.

Kata terakhir Astu sebagai pamungkas kesatuan Swastyastu itu berarti semoga. Demikian secara general Om Swastyastu dapat diartikan dengan kalimat  Ya Tuhan semoga kami selamat.  Sama halnya dengan pengucapan salam di kalangan muslim, salam khas dari Hindu ini bisa dipraktekkan kapan dan dimana saja terlepas di tempat beribadah pada umumnya.

Era memang sudah bergulir, ucapan salam yang tadinya dipakai hanya pada kalangan satu kepercayaan saja kini berkembang menjadi ucapan salam milik bersama. Hal tersebut mengandung sisi positif, dimana pada era sebelumnya ucapan salam tersebut terkesan hanya menjadi milik tok kelompok kepercayaannya tertentu saja.

Praktik berbahasa pada zamannya sama dengan praktik berbudaya pada masyarakat keturunan tioghoa asli Indonesia. Semisal praktik seperti barongsai yang selama era orde baru hanya dilakukan pada kesempatan terbatas saja karena kepentingan politik dizaman tersebut guna mengurangi pengaruh budaya rival politik negara China yang pro komunis. Om, sebagaimana assalamualaikum, kini menjadi universal.

Apabila ditarik garis merahnya antara Assalamualaikum dan Om Swastyastu maka kita akan mengerti makna ucapan salam tersebut yang berlaku universal. Hanya perbedaan latar belakang budaya dalam bentuk kemasan dan praktik berbahasa saja (Praktik ini disebut juga parole atau penggunaan bahasa pada prakteknya yang dikenal dalam term kajian linguistik Sausurean).

Semoga keselamatan menyertai kita semua.


Komentar