Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Sapardi Dan Sastra Sunda



Amok, mungkin salah satu warisan bahasa dunia yang berasal dari rumpun melayu seperti Indonesia untuk mengambarkan tentang kekuasaan massa yang membringas. Begitu halnya dengan Angklung yang pada November-Desember 2010 ini resmi dinyatakan sebagai warisan dunia oleh Unesco, mengiktui batik yang telah dahulu melenggang.a

Tidak hanya di bidang linguistik dan produk budaya. Dalam bidang seni budaya, sastrawi dan intelektual dunia mencatat beberapa nama penulis nasional yang dikenal. Romo mangun dengan karya Burung-burung Manyar (1991) yang memenangkan penghargaan South East Asia Writers, karya yang mengundang kontroversi karena dianggap terlalu kritis terhadap pemerintahan. Ada juga Mochtar Lubis dengan Sendja di Djakarta yang menceritakan kebobrokan pola budaya korupsi, karya ini juga dianggap subversif terhadap negara dan ditolak kehadirannya pada dekade 1960-an.

Nama lain yang menjadi sorotan dunia luas termasuk Achdiat Karta Mihardja, Umar Kayam, and Budi Darma. Dijagat kepenyairan sebutlah nama-nama seperti si burung merak Rendra, Subagio Sastrowardojo, Goenawan Mohamad, Sutardji Calzoum Bachri, dan Sapardi Djoko Damono.

Nama yang disebut terakhir mempunyai karya yang tak kalah abadi diatas deretan nama dunia seni dan intelektual. Sapardi Djoko Damono terlahir pada 20 Maret 1940 di Solo, seorang penulis dan penyair berkualitas, merupakan anak pertama dari pasangan Sadyoko dan Sapariah.

Selain sebagai professor dan mengajar sastra, Sapardi, pernah menjadi Dekan Fakultas di Universitas Indonesia. Ia juga termasuk anggota pendiri Yayasan Lontar, sebuah organisasi nirlaba independen yang berdiri sejak 1987 didirikan bersama penulis lainnya seperti Goenawan Mohamad, Umar kayam, Subagio Sastrowardoyo, dan pengalih bahasa asal amerika John H. McGlyn.

Salah satu karya signifikan dari anggota pendiri yayasan yang bervisi untuk menstimulasi perkembangan dunia sastra nasional dengan langkah progresif dan menyediakan peta lahan bagi generasi masa depan ini adalah karya John H. McGlyn berjudul Indonesia in the Soeharto Years - Issues, Incidents and images  yang dikeluarkan pada 2005 lalu. Salah satu artefak belantara pemikiran yang cukup komprehensif untuk mengambarkan perenungan tentang perkembangan dunia intelektual di zaman ketika Presiden Soeharto memimpin Republik Indonesia selama 32 tahun (Soekarno memimpin selama 21 tahun).

Bakat kepenulisan dan kepenyairan Sapardi berlangsung unik. Sapardi yang biasanya kluyuran dari satu tempat ke yang lainnya, dari satu daerah ke daerah baru lainnya tiba-tiba menyukai suasana kesendirian yang selaras dengan Desa Komplang yang hening seperti tidak menawarkan bentuk kehidupan dunia apapun selain berdiam diri di rumah.

Tak seperti ketika tinggal di Desa Ngadijayan sebelumnya yang menyebabkan Sapardi kluyuran kesana kemari, di desa baru ini, Sapardi lebih betah menyendiri dan mendengarkan intuisi beserta telinganya sendiri."Mungkin karena sesuatu yang 'aneh' itu menyebabkan saya memiliki waktu luang banyak dan 'kesendirian' yang tidak bisa saya dapatkan di tengah kota," tutur Sapardi beralasan dalam sebuah buku tentangnya, Sapardi Djoko Damono : Karya dan dunianya.

Pikiran lidah batin Sapardi akhirnya mengembara dalam dunia imajiner bentukkannya sendiri. Terus menerus melakukan perenungan dan perjalanan batin dalam kesendirian, Sapardi masuk ke dalam sanubari terdalamnya, membongkar kata dan frasa. Tanpa henti.

Di era ini, bulan November 1957, Sapardi memulai belajar menulis puisi dan meulis apa saja yang menurutnya menarik. Satu hal penting yang dia lakukan adalah mencari kemurnian kata dalam pemikiran sendiri yang membebaskan dia dari segala kutipan dan penerjemahan. Meski sebenarnya dia sudah pernah menerjemahkan tulisan karya orang yang dia sendiri lupa milik siapa.

Tahun berikutnya di masa pembelajaran tersebut, karya Sapardi muncul di ruang kebudayaan beragam penerbitan, diantaranya yang dikomandoi oleh H.B. jassin. Penanda tangan Manifes Kebudayaan yang dilarang oleh pemerintah Soekarno dan dimusuhi gerakan Lekra juga kaum nasionalis kiri ini melukan tukar pikiran atau tafsir ulang atas karya sastra seperti Karl may atau lakon Murder in Cathedral karya T.S. Eliot dalam catatan pinggir halaman.

Salah satu sajaknya yang terkenal dan dikutip dalam suatu konferensi internasonal oleh Narasima Rao, Perdana Menteri India, berjudul Pilgrimage (Suddenly the night, 1988:13) yang merupakan terjemahan dari Ziarah (duka-Mu abadi, 1975:30-31). Tapi pembaca satra awam pun akan mengenal satu karyanya yang sampai sekarang masih terus terasa segar ketika dibaca berulang kali sejak pembuatannya, sajak tersebut berjudul sederhana, ditulis dengan bahasa sederhana tetapi mengandung makna filosofis yang tidak sederhana. Jujur dan mengalun.

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

seperti kata-kata yang tak sempat terucapkan

oleh kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,

Seperti isyarat yang tak sempat dikatakan

oleh awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

- Aku Ingin, Sapardi Joko Damono

 

Puisi atau sajak diatas sama sederhana dan dalam seperti sajak basa Sunda karya Didin Tulus berjudul pipisahan, perpisahan, yang dimuat dalam buku kumpulan sajak dan puisi Surat ti bali (2009:23).

 

Paturay ieu

lain keur ahir carita

tapi hiji lengkah-lumampah

nyorang kabagjaan

jero dunya sorangan

 

Terjemah bebas karya sajak basa Sunda tersebut :

 

Pertemuan ini

bukan ahir cerita

tapi satu jejak-langkah

mencari kebahagiaan

dalam dunia sendiri

 

Salah satu nukilan puisi dan kumpulan sajak yang ditulis dalam bahasa Sunda oleh penulis dan pegiat sastra dengan nama pena Didin Tulus ini adalah representasi dari keberlangsungan perkembangan dunia sastra Sunda pada umumnya.

Karya-karya yang dalam buku Surat ti Bali (Surat dari Bali) merupakan simpul keberlangsungan antar generasi hingga kiwari. Dalam jagat literatur karya sastra seperti puisi dan sajak dengan menggunakan medium bahasa Sunda masih bisa dihitung dengan jari, terlebih karya dari generasi muda yang mayoritas menggunakan bahasa nasional Indonesia sebagai pengantar atau bahasa asing yang lebih populer dengan semangat zamannya yang sudah mengglobal.

Tidak hanya karya puisi dan sastra bahasa Sunda yang langka di percaturan literatur, dalam ranah penelitian pun kearifan budaya lokal mengalami hal yang sama.  Karya penelitian bisa dilacak dalam buku-buku Tini Kartini dkk., Biografi dan karya Sastrawan Sunda Masa 1945-1965 (1978), Yuhana, Sastrawan Sunda (1979), Daeng Kanduruan, Sastrawan Sunda (1979), Haji Hasan Mustapa (1985).

Ada juga kolaborasi dalam buku Ajip Rosidi dan Haji Hasan Mustapa jeung karya-karyana(1989). Yang paling kiwari dari karya seniman basa Sunda adalah Ensiklopedi Sunda (2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (2003), keduanya ditulis oleh seniman produktif asli Sunda yang kuat akan integritas dan kritis, Ajib Rosidi (1938-sekarang).


Komentar