Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Merajut serpihan sejarah a la Kelompok Anak Rakyat


Gempuran budaya popular tidak otomatis menjadikan Muda-mudi Lokra melupakan khasanah kekayaan dan kultur Bangsa, dengan caranya mereka hadir sebagai penyambung lidah sejarah.

 

"Hmm, apa mungkin ini pengamen, tapi kok kompak sekali dengan seragam rapih bahkan sambil membawa payung besar,“ gumam saya sambil menurunkan laju kemudi motor jepang akhir 90-an, ‘si dukun’ kesayangan. Gas motor lalu saya pelankan, sambil melirik kanan-kiri bahu jalan guna memastikan alih-alih ada acara hajatan kampung. Yang ada, lalu lintas Bandung padat merayap seperti biasa, juga terik siang itu. Klakson saling memburu, namun sekelompok anak muda yang sedang khidmat ‘menari’ diatas aspal tersebut memberi impresi personal hingga meninggalkan pertanyaan, “Aneh, rasanya tak ada  kenduri atau sejenisnya. Siapa yah mereka? Rasanya terlalu mewah untuk sekedar pertunjukan langsung di jalanan.”

Bukan tanpa alasan saya mengeneralisir aktifitas berkesenian di jalanan sebagai kegiatan ekonomis. Contoh yang umum seperti mengamen adalah lumrah sering kita lihat. Alternatif lainnya bisa dengan menjadi ‘manusia perak’, menyuguhkan tarian jalanan dengan sekotak pengeras suara rakitan dan kaset lagu daerah yang berputar setia dari side A-ke-B, atau mungkin topeng monyet yang beberapa waktu lalu heboh dengan eksposur media asing hingga akhirnya Pemda DKI pimpinan duet maut Jokowi-Ahok menertibkan jenis aktifitas seperti ini di tiap perempatan kota. Tapi bagaimana dengan para pemuda tersebut? Rasa penasaran saya bertambah ketika menemukan kembali sebuah aksi teatrikal sekelompok pemuda itu sedang mengapresiasi perubahan kota pada sebuah pohon triwarna Bandung yang sedang diupayakan menjadi kota yang layak huni ini.

“Ide pembuatan komunitas ini adalah berawal dari keprihatinan kami akan nasib dari salah satu situs bersejarah di kota Bandung yang terbengkalai dan 28 tahun tidak jelas nasib dan statusnya ini, yaitu situs sel No. 5 bekas kamar tahanan Bung Karno di Banceuy. Berawal dari keprihatinan ini, kami memulai pergerakan pada tanggal 6 Maret 2014 di Situs Banceuy dengan mengadakan sebuah pertunjukan tari karawitan yang berangkat dari tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal, kemudian ada pantomim dan pidato Indonesia Menggugat. Pertunjukan ini kami lakukan selama 6 jam non-stop.” Ujar Gatot Gunawan, via surat elektronik, menjawab gagasan membuat Lokra, Kelompok Anak Rakyat, sebuah kolektif seni  yang sering mengelar pertunjukan seperti diatas.

Lanjutnya, Gatot yang didapuk menjadi ketua di komunitas seni tersebut menyatakan bahwasanya pergerakan melalui pendekatan media seni salah satunya dimaksudkan untuk mempertanyakan sekaligus menagih janji Walikota Bandung, Ridwan Kamil, yang berencana memugar situs ini dalam waktu 100 hari pemerintahannya. Sampai hari ini tanggal 8 Oktober 2014, Gatot menganggap belum ada perubahan signifikan terkait kelangsungan pelestarian cagar budaya dan sejarah tersebut dan menilai janji Pemerintah Kota baru sebatas wacana desain.

“Kami sangat menyayangkan atas sikap beliau yang cenderung menomorduakan situs bersejarah dan lebih fokus terhadap pembangunan taman-taman tematik. Padahal dengan diperbaikinya kembali Situs Banceuy akan berdampak positif baik ditinjau dari segi ilmu sejarah, ekonomi masyarakat sekitar, dan pendidikan masyarakat kota Bandung pada khususnya serta menjadi aset atau kekayaan yang tak ternilai harganya bagi kota Bandung. Sampai sekarang kami tetap mengawal kondisi Situs Banceuy ini sampai nasib dan status situs ini jelas.”

Guna menjalankan roda organisasinya, Gatot dan rekan sejawat Kelompok Anak Rakyat mengaku tidak menyigi pertimbangan prospek ekonomis dimana upaya ekonomi kreatif sedang digaungkan pemerintah dan sedang hangat di sebagian pegiat komunitas. “Kami hanya berfikir bagaimana masyarakat khususnya generasi muda mau mengenal, mempelajari dan mempunyai ‘rasa memiliki’ akan situs-situs bersejarah ditengah gencarnya budaya pop dan tradisi ‘pikun sejarah’ yang sedang melanda generasi muda kita.”

Setiap membuat sebuah kegiatan, sampai saat ini mereka berupaya berdikari, tidak pernah mengajukan proposal kepada siapapun. Prinsip utama kolektif seni Lokra adalah gotong royong, caranya dengan menyisihkan keuangan masing-masing anggota untuk setiap helaran yang digagas.  “Dengan begitu kami mempunyai kebebasan berfikir dalam melakukan sebuah proses kreatif dalam berkesenian tanpa adanya tekanan atau pesanan dari siapapun. Zonder proposal, kegiatan kami akan tetap hidup dan berjalan. Mengenai kreatif atau tidaknya pergerakan kami, biar masyarakat yang menilai sendiri.”

Sampai saat ini kegiatan Lokra memang masih bergerak di wilayah kota Bandung. Bagi mereka, wilayah urban seperti kota Bandung dinilai begitu banyak permasalahan yang menggunung ditengah kehidupan masyarakatnya yang serba cepat dan hanya berfikir mencari uang. Berbeda dengan kehidupan pada masyarakat di pedasaan yang masih memegang teguh nilai-nilai tradisi yang berakar dari kearifan lokal setempat.

“Kehidupan di kota seperti yang kami sebutkan diatas, lambat laun akan melupakan masyarakat akan pentingnya nilai tradisi yang bersumber dari kearifan lokal dan hilangnya idealisme di kalangan pemuda. Oleh karena itu kami melakukan pendekatan terhadap generasi muda sebagai agen perubahan pada kehidupan masyarakatnya. Kami tidak menutup kemungkinan untuk menggelar kegiatan di wilayah pedesaan atau mengikuti kegiatan-kegiatan seni yang hidup di wilayah tersebut, sebab kegiatan tersebut akan menjadi stimulus dan bekal kami untuk menghidupkan kembali seni tradisi di wilayah urban.”

Muda-mudi Lokra punya falsafah tersendiri menghadapi gempuran budaya popular yang mafhum menjangkit wilayah urban. Meski terbilang sebagai tunas muda kolektif seni mereka meyakini prinsip ‘berkepribadian dalam bidang budaya’ sebagai filtrasi dan resistansi hegemoni budaya. “Kami akui bahwa budaya pop ini tidak bisa dihindarkan dari kehidupan masyarakat, kunci kami sebagai bentuk pelaksanaan prinsip ‘berkepribadian dalam bidang budaya’ adalah dengan menggali kembali seni-seni tradisi baik dalam seni tari, karawitan, teater dan seni rupa.

“Seni tradisi dan kearifan lokal mampu menyelaraskan manusia untuk mencapai keseimbangan dalam kehidupan. Dengan kami mengadakan sebuah pertunjukan di situs-situs bersejarah, makam tokoh-tokoh atau pahlawan maka [diharapkan] akan ada sebuah spirit yang kami rasakan untuk selalu menghidupkan nilai-nilai tradisi yang telah diwariskan oleh karuhun-leluhur kita.”

Teknisnya, dalam membuat sebuah pertunjukan di situs bersejarah, makam tokoh, atau pahlawan mereka berkoordinasi terlebih dahulu dengan juru kunci atau ahli waris dari tokoh yang akan diangkat. Pendekatan personal melalui juru kunci dan ahli waris ini menjadi cara ampuh untuk menyampaikan program-program dan tujuan komunitas Lokra. Hal ini akhirnya gayut bersambung dengan apresiasi positif dari pihak yang diajak dialog tersebut, “Karena disamping kami pun melakukan pendekatan terhadap masyarakat sekitar lokasi situs atau makam, juru kunci dan ahli waris ini pun turut andil dalam menyampaikan kegiatan kami kepada masyarakat sekitar, sehingga alhamdulillah kegiatan kami selalu mendapat dukungan dari pihak ahli waris dan masyarakat sekitar.”

Selain itu, Lokra dan sejawat, giat menjalin komunikasi dengan awak media dan sering menginformasikan setiap kegiatan yang akan dilaksanakan kepada pewarta media cetak ataupun elektronik yang ada di kota Bandung. Produksi informasi ini dinilai membantu menyampaikan pesan dan tujuan Lokra sehingga bisa diapresiasi oleh masyarakat umum.

Di tengah kehidupan masyarakat, seni bukan hanya berfungsi sebagai media profan atau demi hiburan semata. Lebih dari itu seni merupakan tempat untuk bernaung bagi masyarakat yang ingin mencapai titik kedalaman. Seni yang bersumber dari kearifan lokal mampu mengasah dan mengolah rasa setiap jiwa manusia. Pengolahan rasa ini berdampak pada kepekaan atau intuisi manusia menjadi lebih tajam dalam melihat kondisi kehidupan bermasyarakat, sehingga akhirnya seni menjadi begitu penting bagi kehidupan masyarakat. Bagi Lokra sendiri, seniman dan seni adalah senjata yang ampuh untuk menyampaikan pesan, dan pelurunya ada di para apresiator yang peduli dan mendengar pesan tersebut.

Komentar