Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Gelar Pahlawan Gus Dur, Biarlah Generasi Masa Depan Yang Menilainya

 


Gus Dur dan Pramoedya Ananta Toer dua anak bangsa yang telah selesai dengan dirinya dan masa lalu. Pada sebuah pertemuan Gus Dur menyatakan permintaan maaf kepada Pram yang dianggapnya representasi golongan yang ditindas di era 1965. Oleh penulis yang karyanya telah dialihbahasakan sekitar 45 bahasa ini permintaan maaf Gus Dur pun dipertanyakan kejelasannya ; apakah sebagai representasi pribadi atau PBNU. "Ya sudah, kalau mau nggak repot anggap saja itu komentar dari PBNU," balas presiden ke-4 Indonesia tersebut seperti penuturan Zastrow el-Ngatawi yang menjadi saksi pertemuan historis di Wisma Negara 27 Oktober 1999.


Anugerah gelar pahlawan nasional adalah bentuk apresiasi pemerintah terhadap sumbangsih anak bangsa yang telah mendedikasikan jiwa dan raganya bagi tegaknya Indonesia. Dari 1945 sampai 2017 setidaknya terdapat 173 figur yang dinilai telah memenuhi prasyarat dan layak mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Secara kuantitas komposisi figur yang telah mendapatkan gelar tersebut terdiri atas 160 laki-laki dan 13 perempuan. Para pahlawan tersebut berasal dari kalangan sipil, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia.

Pada tahun ini Gus Dur, atau pemilik nama lahir Abdurahman ad-Dhakil, presiden Indonesia ke-4 kembali menjadi kandidat penganugerahan gelar tersebut. Namun, Jimly Assiddiqie, Wakil Ketua Dewan Pakar, memandang pemberian gelar kepada salah satu tokoh Nahdlatul Ulama tersebut terlalu dini.

Pemerintahan Jokowi memprioritaskan figur pahlawan pada sosok-sosok yang berjasa di sekitar abad 17 dan 18 guna menghindari bias. Hal ini senada dengan pernyataan Jimly kepada awak media akhir Oktoberlalu seusai bertemu presiden di Istana Kepresidenan, "Kalau yang masih baru nanti bias kami menilai. Bisa saja generasi yang akan datang menilainya."

Menurutnya Gus Dur pasti akan memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional hanya saja momentumnya dipandang terlalu cepat. "Istilah kasarnya kuburannya masih basah," tambah dia seperti dilansir Kompas.com. Pada BBC Indonesia (9/11/17), Jimly menyatakan hal senada, “Yang ratusan tahun saja belum (dijadikan pahlawan nasional), yang kuburannya belum kering masa didahulukan. Pahlawan yang terlupakan perlu didahulukan. Masa ditunda-tunda lagi. (Yang baru wafat) belum tentu tidak pantas, tapi ini soal urutan, jadi tidak perlu dipersoalkan."

Pernyataan Jimly tentu berbeda dengan kenyataan sejarah ketika Sukarno mengangkat Alimin, seorang tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia dan merupakan tokoh komunis Indonesia, yang diangkat menjadi pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden No. 163 Tahun 1964 tertanggal 26 Juni 1964 tepat dua hari setelah kematiannya.



Alimin merupakan salah satu tokoh kharismatik elemen kiri di zamannya. Pasca 1965 tokoh kiri Indonesia yang mendapatkan gelar pahlawan nasional hanya Tan Malaka dan Alimin.


Gus Dur masuk sebagai kandidat pahlawan nasional tahun 2017 bersama Sembilan figur lainnya dari delapan provinsi di Indonesia. Satu di antaranya terdapat nama Abdul Rahman Baswedan. AR Baswedan yang merupakan kakek Gubernur DKI Anies Baswedan ialah jurnalis dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia juga yang pernah menjadi Wakil Menteri Penerangan tahun 1946 hingga 1947 pada era Sukarno. Selain mendirikan Persatuan Arab Indonesia, AR Baswedan meninggalkan kenyamanan sebagai jurnalis di harian Matahari demi berkecimpung dalam dunia politik dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 



Tampak dalam foto sang cucu, Anies Baswedan, di sela peluncuran buku biografi "AR Baswedan, membangun bangsa merajut keindonesiaan" di Jakarta 2014 silam.

Presiden Jokowi telah menekan Keputusan Presiden Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional dan menganugerahkan gelar pahlawan nasional tahun 2017 kepada empat figur anak bangsa yaitu Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, Laksamana Malahayati, Sultan Mahmud Riayat Syah, dan Lafran Pane.

Cepat atau lambat sosok kharismatik lintas keyakinan ini masih punya kesempatan mendapat gelar pahlawan di masa depan sesuai prasyarat UU No. 20 tahun 2009. Nilai universal dan demokrasi yang telah diperjuangkannya adalah legasi bagi anak negeri, dengan atau tanpa gelar formal dari negara nyatanya Gus Dur sudah menjadi tauladan dan pahlawan di hati sebagian masyarakat Indonesia. Perkara gelar, mungkin Gus Dur hanya akan berkata, "Gitu aja kok repot."

_____

Foto Gus Dur dan Pram oleh Dok. Infoblora.com tangkap layar dari Liputan6.com. Foto Anies Baswedan oleh Dany Permana/Tribunnews.com. Foto Alimin dok. Historia.com.

Komentar