Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Lika-liku Maskulinitas Rapuh Setelah Massa Aksi

Mereka yang berseringai-ria dibibir panggung  demonstrasi  untuk memutahirkan marwah maskulinitas, berapi-api di depan forum, setelah membuang tetek bengek hajat revolusi di depan massa aksi biasanya mereka langsung konsolidasi dengan mawar-mawar yang tersaring di atas panggung tadi, setelah  itu  membombardir mereka dengan ke-Aku-an Chairil  dengan  mencomot  puisi-puisian  lewat pengalaman empirik coba-gagal-dan-kandas dalam percintaan.

Siklus ini terus mereka ulang sebelum mereka menemukan sosok yang pas untuk dibawa kondangan atau dikenalkan kepada ibunda di teras rumahnya depan warung sekaligus modus pintaan softcore untuk memesan kopi yang lagi hits masakini sekaligus melunasi bon bulan sebelumnya.

Setelah beres merudapaksa ketika bunda sedang diajak arisan oleh tetangga sebelah, mahluk jenis ini pun seakan tak punya naluri untuk membereskan seprai yang koyak dihantam tsunami hasrat dadakan yang memorable tersebut. Mukanya polos bak anak SD. Ibunda dengan kasih tiada tara tentu tidak bisa diam melihat lingkungan rumah yang tiba-tiba porak poranda ; makanan penganan, gelas kopi hits masakini yang tadi di pesan,  dan  kemeja  yang  mewangi  dengan  semburat parfum  refil  dan  berca k   noda  yang  tak  dapat teridentifikasi kecuali dibawa ke Puslabfor.

"Oh, itu tadi bekas kena oli di bengkel, Bun. Montirnya lagi galau sampe ngisi ulang oli muncrat- muncrat." Ibunda yang tulus tak dapat membiarkan hal aib seperti ini, rumah yang resik adalah representasi iman sebuah keluarga ujarnya.

Jadi,  dari  bangun  tidur,  pulang  demo, memporakporandakan seprai kamar, gelas kotor, piring bau, sampai meminjam dana moneter ke warung depan rumah untuk insentif kopi dan rokok tetaplah menjadi urusan Sang Bunda, atau jika mujur mawar-mawar baru yang terkesiap dapat menjadi pahlawan krisis moneter (nyaris) permanen tipe aktifis donju ini

Sementara perut  semakin buncit, karet pengaman selalu menipis, dan senyum ibu warung yang menyimpul bak teror panoptikon akibat ekses menjadi nasabah  deposit  warung,  tipe  seperti  ini  nampaknya susah  move  on  dari  zona-basah-nyaman-dan-mengenyangkan. Entah apa yang dipikirnya, mungkin sosok aktifis ini adalah tipe anak kesayangan tuhan.

Jarang rasanya mendengar mereka rajin menulis ulang dakwah dosen di kelas. Menjelang ujian semester mereka sibuk membuat kisi-kisi di fotokopi. Buku? Jangan harap rak mereka penuh. Jika iyapun pastilah sudah berdebu karena lama sudah halaman dijamah.

Forum yang mereka hadiri itu antara resah dengan pencarian dan terlalu lama ditampar kesepian. Satu-dua  eksekusi  ide,  setelah  selesai  kembali  senyap dengan  kelompok  serigala  tanpa  taringnya. Dan menyisakan agenda berantakan yang berdebu karena tak tereksekusi.

Pemuda ndonesia mesti berkaca pada generasi revolusi dan kolonialisme. Semangat mereka membuat negara dimulai sejak usia belasan. Tentu zaman berbeda tapi gairah tidak boleh lemah karena dibuai kenyamanan hidup di tanah surga Nusantara.

Komentar