Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Payung Teduh Bubar? Sabar, Ini Hanya Ujian Dari Mas Is

Is Payung Teduh. Foto: Rolling Stone INA.


M
enginap di ragam hotel favorit, bertemu banyak orang baru, menginjak tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi, tawaran komersial mengantri, jadwal manggung super padat, kontrak menanti, dan beragam gelimang kemudahan lainnya yang kerap diperoleh seorang penampil di jagat hiburan adalah hal wajar dan mimpi besar malah. Apalagi jika sorotan media mulai dari layar kaca, udara, dan kanal alternatif tanpa jeda mewartakan segala aktifitas kreatif hingga personal. Bukankah ini kesempurnaan?

Sayangnya, ini tidak berlaku bagi Is, bernama lengkap Mohammad Istiqamah Djamad, yang telah memulai karir berkesenian bersama kolega Alejandro Saksakame, Comi Aziz Kariko, dan Ivan Penwyn di Payung Teduh hampir satu dekade lalu itu memutuskan untuk mengakhiri proses kreasi bersama.

Seperti dikenal, Payung Teduh sendiri merupakan unit popfolk yang lahir dari kecelakaan sejarah akibat intimasi Is dan Comi yang kerap kepergok intens menghabiskan sisa hari untuk sekedar duet dan jamming ternyatadiapresiasi dan selalu dinanti lingkungan mereka ketika kuliah. Lambat laun, mereka tumbuh bergerilya dari komunitas Universitas Indonesia hingga akhirnya dikenal seantero skena mandiri.

Keputusan Is dengan karakter teknis vokal yang khas dan penulisan larik-larik dalam birama lagu berbahasa apik tersebut sudah dipikirkan sejak Juni 2017 silam, sebelum akhirnya ia sendiri yang mengutarakan kepada publik pasca konser Liztomania yang menampilkan Payung Teduh di Gedung Kesenian Jakarta (14/11/2017).

Is menyatakan sinyal hengkang dari Payung Teduh dan masih akan tetap menyelesaikan kontrak penampilannya sampai akhir Desember 2017 (video : visualtv.live)

Memutar waktu ke belakang sejenak. Is dengan Payung Teduh semakin meluncur deras ke permukaan pasca debut “self titled” di 2010 via tembang seperti “Untuk perempuan yang sedang dalam pelukan”, “Ku cari kamu”, “Angin Pujaan Hujan” dan tembang lainnya dengan pola pemilihan diksi yang menggunakan bahasa yang apik.

Tidak hanya itu, judul-judul lagu tersaji dengan nafas diksi yang juga unik. Hal ini semakin membawa pendengar hanyut dalam balutan jazz, keroncong, folk, dengan aura indie dalam satu kemasan album. Puji Denny Sakrie perihal Payung teduh kepada BBC Indonesia (8/3/2013), "Seperti mengembalikan lirik pada perannya dalam lagu yang sempat kita nikmati pada masa-masa Ismail Marzuki dulu."

Is, berbicara santai menjawab apa sebenarnya musik Payung Teduh dalam sebuah program mingguan Infomusika BBC Indonesia. Secara definitif, Is dan kolega tersirat menyerahkan seperti apa tafsiran aliran kelompok Payung Teduh itu sendiri kepada para pendengarnya.

"Musik kami ini musik suasana, kami main musik layaknya ngobrol saja dengan pendengar," tambahnya, "Kalau ada feel adem, dingin, woles, itu karena memang kami maunya jadi teman istirahat. Jakarta sudah hiruk-pikuk begini, kami berharap pendengar bisa santai sejenak."

Apresiasi pun tak hanya datang dari skena lokal di setiap performa mereka yang tidak pernah sepi tapi juga dari media arus utama seperti Tempo dan Rolling Stone Indonesia. “Dunia Batas” menjadi album terbaik pilihan Tempo tahun 2012 setelah sebelumnya menjadi grup pendatang baru terbaik versi majalah musik Rolling Stone Indonesia.

Bahkan Anugerah Musik Indonesia mengganjar mereka pada 2017 ini dengan “karya produksi alternatif/alternatif rock/lintas bidang” terbaik berkat single “Akad” yang mereka rilis melibas kandidat seperti Efek Rumah Kaca – Merdeka (Efek Rumah Kaca / Pandai Besi), Elephant Kind – Beat The Ordinary (Frisson Entertainment), Mondo Gascaro – A Deacon’s Summer (Ivy League Music / Mondo Gascaro), dan Shaggydog feat Iwa K – Putra Nusantara (Doggyhouse Records).

Popularitas single “Akad” mengenapi lagu wajib bagi pasangan yang sedang dimabuk asmara pada seperti pada album “Dunia Batas” (2012) dan “Self Titled” (2010).

Saya kira Is berusaha meletakkan marwah seni sebagai seni itu sendiri tanpa embelembel ideologis bahkan mengejar patgulipat nilai lebih komoditas sebuah karya seni. Keputusan Is yang kontroversial itu tak lazim diambil para pesohor yang sudah kadung mencandu popularitas dan sedang di atas angin. Kasarnya, tinggal duduk manis dan menikmati arus kencang berselancar dalam kesuksesan. Tapi tidak baginya. Ada tanggungjawab moral bagi dirinya ketika berada dalam siklus zona nyaman Payung Teduh.

Faktor signifikan lainnya adalah komunikasi intrapersonal antara Is dengan Comi (pemain kontrabas, lulusan program magister dari Universitas Indonesia dan mengajar mata kuliah Bahasa Inggris di almamaternya di Universitas Bina Nusantara), Alejandro Saksame (penabuh drum yang merupakan desainer grafis penuh waktu), dan Ivan yang akhirnya menjadikan jarak semakin menganga.

Di jadwal yang padat mencekik, Is merasakan bukan seperti ini yang ia idealkan. Ia merasa tidak ada lagi proses kreatif ketika merintis kelompok musik tersebut dari skena seni peran dan teater. Tak ada kultur dialog antara satu dengan lainnya membicarakan progress Payung Teduh. Kabiasaan yang ada menodong dan membicarakan materi tepat di belakang panggung sebelum pentas dipandangnya adalah kebiasaan negatif.

Alienasi, mungkin konsep ini yang sedang Is rasakan. Baginya bisa jadi Payung Teduh awalnya hanya ditujukan sebagai media merebah lelah dengan handai taulan tanpa menarget pundi-pundi a la industri dengan jam tampil yang mencekik batas antara berkesenian kepada akumulasi profit sebagai profesi. Idealnya, Payung Teduh mungkin ia proyeksikan untuk kerja budaya hal yang naturalnya ia lakukan di luar jam kuliah dengan komunitas sekelilingnya.

Is tersadar ketika di atas gemerlap bahwa hal ini bukan tujuan awal meski secara rasional ia adalah ayah empat orang anak yang harus siaga setiap detik menjaga dapurnya mengepul. Ada nilai di balik angka, hubungan Is dengan koleganya yang tak bisa digantikan dengan materi adalah definisi yang ia coba maknai ulang. Hubungan personal yang harus ia selamatkan. Dan keluarnya Is dari zona mapan adalah salah satu terapi kejut untuk mengembalikan ruh Payung Teduh kepada akarnya sebagai teman istirahat di hiruk pikuk siklus linear urban seperti Jakarta.

Bagi yang mengejar nilai tentu keputusan Is bisa dibilang sangat berani di saat penampil hiburan arus utama berjibaku untuk sekedar menyodorkan proposal manggung dan mencari celah menjadi kepala berita utama media nasional. Di sisi lain keputusan Is yang kontroversial tersebut ia selayaknya mendapat apresiasi ketimbang cibiran, karena dalam kebudayaan ranah berkesenian, manusia adalah subjek dari lakon yang diperaninya. Bukan menjadi objek industri. Sabar, ini hanya ujian dari Mas Is. Dengan atau tanpanya Payung Teduh akan menjadi teman setia di setiap akad generasi milenial di depan penghulu.

Bravo Payung Teduh! Sukses Mas Is. Semoga istiqomah.

Komentar