Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Sekilas Kelahiran Hip-hop Menuju Dekade Ke Lima

Film Wild Style (1983) yang diproduseri dan direksi oleh Charlie Ahearn dianggap sebagai film pertama yang mengangkat tema hip-hop. Film ini juga dibintangi oleh para pionir genre tersebut seperti Busy Bee Starski, Fab 5 Freddy, Grandmaster Flash dan the Cold Crush Brothers 


“Dong nombok dong nombok, dong.”

Masih ingat dengan penggalan kalimat tersebut? Generasi Z mungkin belum mengetahui frasa lawas yang dipopulerkan oleh Iwa Kusumah dalam tembang "Nombok Dong!” yang berkolaborasi dengan Tori Guest dan diiringi pemandu sorak SMA Negeri 34 Jakarta tersebut. Wajar karena ketika mereka lahir album “Kramotak” dirilis tahun 1996. Ada sepuluh tembang bercorak rap hip-hop yang diproduseri Great Music Production dan labelnya MusicaStudio ini.

Iwa musisi origin Tanah Pasundan merupakan representasi budaya pop ketika MTV merajai kanal pilihan paramuda.  Selain Iwa, ada juga Denada yang menjadi salah satu rekan sejawat Iwa dalam mempopulerkan hip-hop ke kancah komunitas dan kancah musik nasional. Yang terbaru? Ada Yacko dengan tembang “Hands off!”, single yang ditujukan sebagai media advokasi anti kekerasan bagi kaum perempuan.

Berbicara hip-hop, genre ini dirintis oleh pemuda 18 tahun pada 11 Agustus 1973. Sebagai seorang disc jockey dengan nama panggung Kool Herc, ia jengah dengan perkembangan skena musik kala itu. Sepulang dari jam sekolah di bilangan 1520 Sedgwick, Bronx, New York Amerika  ia memutuskan meracik birama musik yang lain dari biasanya dan mengelar pesta di belakang beranda.

Putaran plat piringan hitam yang biasanya dimainkan secara penuh dalam pentas seni di komunitasnya ia warnai dengan atraksi menghentikan seketika pemutar lagu. Tepat bilangan detik sesi break atau jeda tersebut dia menyadari kerumunan semakin antusias ketika piringan hitam dimajumundurkan seketika. Sementara kolega sepanggungnya bernama Coke La Rock mengiring emosi kerumunan dengan mikrofon di tangan. Tepat di sini hip-hop menjadi embrio dan menjadi rival wabah disko yang menjangkiti perkembangan musik popular era itu.

Jenny Brewer dalam ulasannya mengenai figur ikonik yang bersinergi dengan kultur hip-hop ini mengatakan bahwa Cey Adam lah sang seniman graffiti yang mengeksekusi grafis logo modifikasi kelahiran hip-hop. Sebuah gambar turntable atau pemutar piringan hitam dimana pendengar dapat meramu birama dari tembang lawas favoritnya sendiri, dan gambar ikonik ini tentunya menjadi legasi dalam sejarah hip-hop dan kultur pop. Di laman Itsnicethat.com (11/8/17), sang seniman sendiri disebutnya sebagai paduan JeanMichel Basquiat dan Keith Haring kontemporer.

Lyon Cohen, Kepala Musik Youtube Global dan mantan pendiri Def Jam Records dalam pernyataannya mengenai “44th Anniversary of the Birth of Hip Hop” di Telegraph.co.uk (11/8/17) mengatakan, “Yes, untuk kalian semua! Jangan berhenti. Hari ini kita menyadari dan merayakan sebuah revolusi kebudayaan yang membentang selama 44 tahun dan terus berjalan. Dimana hal tersebut dimulai di Bronx New York, yang lebih dikenal umum sebagai Boogie Down Bronx.“

Duapuluh tahun terakhir ini di ranah lokal, selain Iwa dan Denada, terdapat nama Herry Sutresna atau lebih dikenal dengan Morgue Vanguard yang konsisten di jalur hip-hop bawah tanah. Dengan kemandirian dan karya nyata berupa single, album pendek dan penuh, juga kompilasi Herry dengan unit Homicide telah mewarnai dinamika komunitas sub kultur Nusantara. Anda dapat menyimak karya yang politis, metafor, sarkas dan sekaligus penuh satir bernas dari mereka pada rilisan Homicide – Complete discography yang memuat perjalanan berkesenian sejak senjakala Orde baru. Produk hip-hop yang tentunya berbeda dengan komoditas industri semacam 50 Cent atau Eminem.

Eksistensi garda hip-hop lokal Homicide selama 13 tahun yang dikompilasikan dalam diskografi komplit berisi 33 tembang dalam 2 buah cakram padat dan catatan sebanyak 150 halaman yang menjabarkan substansi setiap materi yang disajikan. Eksistensi mereka menjadi penanda bahwasanya musik selalu beririsan dengan realitas sosial.

Hingga kini hip-hop masih bertahan dengan ritus dan kulturnya sendiri, menjalar dari belantara Bronx hingga macetnya Cihampelas yang telah melahirkan komunitas genre ini melalui unit rekaman skala mikro dengan aktivisme komunalnya bersama Harder dan Homicide, hingga Grimloc yang tumbuh pasca reformasi dan menjadi wadah talenta hip-hop lokal.

________

Foto cakram padat oleh Grimlocrecords.com dan Wild West oleh AFNOW.

Komentar