Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Bahana Metal Sentuhan Etnik: Toura

Rambut ikal dan kurus menjulang, sekarang, perawakannya subur dan badannya gembur. Namun satu yang tak pernah berubah sejak tahun 1997, yaitu rambutnya yang dreadlock ala musikus legendaris Bob Marley dan si nyentrik Rob Zombie.

Yup, siapa tak kenal sama sosok pria kelahiran Bandung 5 September 1973 ini. Dia pemilik nama asli Wawan Muhammad Tohra, di lingkungan keluarga dipanggil Adi dengan sapaan akrab nama panggung Kiming. Kita tak akan panjang lebar membahas sosok yang besar dalam scenester kultur music underground Bandung ini melainkan apa yang melingkupi hayat hidupnya sampai detik ini, yaitu terus bermusik.

Berawal dari keinginan Kiming untuk meluapkan ambisi membuat side project di sela kesibukan bersama band terdahulunya (Dajjal), akhirnya sekitar Oktober 1999, ia bersama rekan sejawatnya sepakat untuk mewujud impian menjadi realita. Bergabunglah Unyil (drum), Arief (perkusi), Dayak (lead Guitar), dan Andri (vokal) sebagai embrio dari eksistensi kelompok musik yang bernama Toura.

Kiming, sang pencetus kelompok ini menafsirkan Toura secara arbiter dari sebuah kata dalam yang secara harfiah dia artikan sebagai tulang rawan. Bingung? Pepatah bilang apalah artinya sebuah nama apabila kita tak memaknainya. Nama hanyalah identitas sedangkan makna adalah persepsi kita sebagai subjek berpikir. Dan Toura memaknainya dengan karya. Dua single tentang budaya dan kritik sosial telah mereka rampungkan sebagai stimulus kepada pendengar, Dua dunia dan Tradisi mati.

Unik memang nama band tersebut, namun yang lebih uniknya lagi, ternyata kelompok ini  mampu menyatukan berbagai latar jenre musik para personilnya, mulai dari thrashy grind core, rock and roll, punk, sampai hentak etnik dan jazzy pun bisa disuguhkan dengan apik. Tidak hanya penampilan eksentrik namun alami dalam keseharian, sifat bersahaja pun menjadikan nilai plus bagi Toura.

Adalah Toura formasi ke tujuh, Jan Ronald Simatupang (drum), Kiming (ritem), Muhamad Gugun (vokal) dan Puji Kusuma pada lead guitar yang merupakan formasi terkini sejak band ini awal berdiri.

Alunan musik yang dihasilkan formasi ini cenderung melenceng dari mainstream musisi indie yang ada di ranah lokal meskipun pengaruh Brazillian Max Cavalera sangat kental. Karakter vokal yang mampu beradaptasi mengikuti tinggi dan rendahnya irama serta hentakan drum Ronald, ditambah variatifnya sentuhan chords-catchy dari Puji serta gesekan gitar ritem yang disuguhkan Kiming, menjadikan percampuran suasana etnik dan metal lebih membahana.

Masih Penasaran? Tunggu buah karya mereka! Soulfly versi lokal akan segera menghentak.

Komentar