Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Nasionalisme We The People?

We The People merilis “Tukang Rebutan” via Grimloc Records & Ancaman Records. 

[Sumber karya visual: Grimloc].

Tepat di penghujung 2013, We The People [Wtp], kuartet punk asal Bandung kembali merilis single teranyar mereka. Ada aroma nasionalisme ala WTP yang coba ditawarkan ‘Tukang rebutan’, judul kali ini, “Ini, emm..mungkin bisa dibilang sebagai bentuk tanggapan sederhana kami atas nasionalisme yang kebablasan,” tukas Arfian Firmansyah, gitaris, via surat elektronik. 

Lanjutnya, di single kali ini Wtp merujuk tema lagu mereka pada realita antara Indonesia dengan negara tetangga, Malaysia. Dua Negara ini memperebutkan hak paten akan batik yang kemudian hari kita ketahui bahwa Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO)  telah mengesahkan Batik sebagai salah satu Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) milik Indonesia. 

Pengukuhan 2 Oktober 2009 tersebut kemudian ditasbihkan Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Hari Batik Nasional.

Ternyata ‘Ganyang Nasionalisme’ karya rekan sejawat dalam skena musik Bandung seperti Milisi Kecoa ini menjadi salah satu referen judul serta isu seksi single Wtp kemudian meluncur. Milisi Kecoa sendiri tempo hari menolak penghargaan Best Punk/Hardcore/Post-Hardcore dari salah satu ajang penghargaan musik garda depan nasional dan menjawabnya secara terbuka dengan karya visual ‘jari tengah’ di laman media sosial resminya. 

Milisi Kecoa, grup punk asal Kota Bandung menolak nominasi ICEMA 2012, atas salah satu karya mereka bertitel ‘Ini bukan Arab, bung!’ yang diganjar Best Punk/Hardcore/Post-Hardcore. Karya visual ini meluncur, dan dianggap sebagai jawaban oleh sebagian pendengarnya.[Sumber visual laman Milisi Kecoa].

Adapun perilisan single kali ini dan untuk album Wtp mendatang akan dieksekusi pihak Grimloc Records berkolaborasi dengan Ancaman Records. Arfian, yang juga Penata Suara paruh waktu ini, menutup perbincangan tentang latar pemilihan single tersebut dirilis secara digital dan bebas unduh via Grimloc, “Kurang lebih hanya sebatas announce dari pihak Grimloc atas dasar preferensial pribadi Pak Herry [Sutresna, produser musik cum pendiri Grimloc] sendiri.

Komentar