Emma Poeradiredja, Tokoh Sumpah Pemuda Penyaksi Tiga Zaman

Emma Poeradiredja diantara keluarga besarnya di Bandung. P erempuan adalah darah dan nyawa sebuah peradaban bukanlah hal yang berlebihan. Adalah Emma Poeradiredja sosok wanoja asal Tanah Pasundan yang turut menjadi pelaku dan saksi berdirinya republik Indonesia dalam tiga babakan zaman ; revolusi, rezim Sukarno, hingga Suharto. Lahir dan besar dalam keluarga priyayi tidak serta merta menjadikannya sosok manja dan menerima segala keistimewaan kelas menengah feodal di zamannya. Sebagai salah editor Balai Pustaka dan Redaktur Kepala untuk bahasa Sunda pada Pustaka Rakyat, sang ayah Raden Kardata Poeradiredja dengan istri  Nyi Raden Siti Djariah  membesarkan Emma beserta saudaranya dalam lingkungan yang memprioritaskan pendidikan. Tak heran saudara Emma seperti Haley Koesna Poerairedja menyabet Community Leader dari The Ramon Magsaysay Award tahun 1962. Adil Poeradiredja saudara lainnya menjadi politikus dan Perdana Menteri Negara Pasundan pro-republiken. Sedari remaja Emma sudah akt

Tak Ada Akhir Kita



Kau yakin ini akhir paragraf ketika jalanmu masih di titian yang sama, pikirmu?

Di bawah langit, bukankah kau masih bisa menyapa keluhmu atas mereka yang menderas keringat dan air mata meski kerontangnya sumur pun senyatanya tiada

Dinginnya September, sebeku Corona mengambil nyawa-nyawa tak berdosa

Dan sebebal-bebalnya manusia pada mereka yang terus menyabung kekuasaan, mematikan rasa, menumbalkan kemanusiaan

Suara yang kau teriakan dalam sendirimu tentu tak membawa perubahan selain daya berdamai dengan dirimu adanya

Kau lihat, di seberang istana, tuan-puan termanggu di balik tirai dan menyapa bayangnya pun mereka menunggu senja tenggelam

Bukan, bukan alkisah kau yang menunggunya

Ini tentang mereka dan kita yang selalu dihadapkan pilihan simalakama

Menjadi pemberani adalah pilihan jalan sunyi, kekasih

Kau lempar beribu sajak-sajak penyengat di gedung-gedung beku, selangkah sudah upayamu

Kau tikam bumi di malam-malam doa, seribu harap ingatanmu

Semakin berkata-kata, semakin nyalang bara warasmu, semakin nyalak hidupmu melampai jeda-titik tak berparagraf.

Kekasih, pahamkah kau gelegar penantian tanpa jumpa? 

Enggan bukanlah menghalang takdir pada porosnya, 

hingga tiba matahari menyapa derai pagi dan rembulan bersepuh mantra kinasih, kita: tak perlu tanya. Tak ada akhir kata.


- Aokhi, Tanpa Kata, 2020.

Komentar